Lingua Franca
LINGUA FRANCA
Pengetahuan Kata
Sering dalam berdiskusi, terutama diskusi-diskusi dimilist yahoogroups kita kesulitan untuk bersepakat tentang suatu persoalan yang sesungguhnya mudah. Persoalan-persoalan mudah tersebut sering menjadi persoalan berlarut-larut karena dua hal, pertama karena persoalan teknis, yaitu ketidak mampuan untuk membedakan satu kata dengan kata yang lainnya dan satu pernyataan dengan pernyataan lainnya. Kedua karena persoalan non teknis, yaitu keinginan untuk merpertahankan kecenderungan pribadi, kepentingan kelompok, dan aneka egoisme yang lainnya J
Sekarang kita lihat hal yang pertama dulu, yaitu persoalan teknis tentang pengetahuan kita terhadap kata-kata. Didalam berlogika kemampuan yang paling rendah yang harus dimiliki untuk meneliti kekeliruan berpikir, silogisme, analogi, generalisasi dan dilema adalah kemampuan untuk membedakan kata perkata. Permasalahan seperti ini sekilas kelihatannya sepele, tapi apakah betul permasalahan seperti ini adalah persoalan yang mudah dan sepele?
Mari kita lihat…
Kita sering ngeyel bersikeras mempersamakan kata tidak gemuk dengan kurus, tidak kaya dengan miskin, tidak terang dengan gelap, tidak pandai dengan bodoh dan sebagainya. Penggunaan kata-kata seperti itu tidaklah benar dan logis, karena kata tidak gemuk bukanlah berarti kurus, kata tidak gemuk untuk seseorang bisa saja berarti orang tersebut adalah orang yang berbadan atletis dan ideal.
Kata ‘tidak kaya’ tidak berarti seseorang itu miskin, tidak kaya bisa juga berarti orang yang mempunyai uang yang cukup, namun tidak sampai berlebihan sehingga dia belum layak disebut sebagai orang yang kaya.
Tidak pandai juga tidak bisa disamakan dengan bodoh, karena orang-orang yang sekolah dan kuliah sampai sarjana sekalipun banyak juga yang disebut sebagai orang yang tidak pandai, tapi juga tidak bisa dikatagorikan sebagai orang yang bodoh.
Dalam ilmu logika, persoalan seperti ini diatur khusus dalam sebuah bahasan, yakni tentang pengetahuan terhadap kata. Dalam masalah ini dikenal tiga istilah teknis, yaitu kata positif, negatif dan privatif.
Kata positif adalah suatu kata yang mempunyai pengertian tentang penegasan ‘adanya’ sesuatu terhadap dirinya sendiri, seperti :
Gemuk --à menunjukkan ‘adanya’ daging.
Kaya --à menunjukkan ‘adanya’ harta.
Terang --à menunjukkan ‘adanya’ cahaya.
Pandai --à menunjukkan ‘adanya’ ilmu.
Dan lain-lain
Kata Negatif adalah suatu kata yang yang diawali oleh kata-kata negasi seperti, tidak, non, tak, dan bukan, contohnya seperti :
Non Gemuk --à diawali kata ‘Non’
Tidak Kaya --à diawali kata ‘ tidak’
Tak Terang --à diawali kata ‘tak’
Tak Pandai --à diawali kata ‘tak’.
Dan lain-lain
Kata Privatif adalah suatu kata yang mempunyai pengertian tentang penegasan ‘tidak adanya’ sesuatu terhadap dirinya sendiri, seperti :
Kurus --à menunjukkan ‘ tidak adanya’ daging.
Miskin --à menunjukkan ‘ tidak adanya’ harta.
Gelap --à menunjukkan ‘ tidak adanya’ cahaya.
Bodoh --à menunjukkan ‘ tidak adanya’ ilmu.
Dan lain-lain
Dengan memperhatikan pengertian kata tersebut, maka sekarang makin jelaslah bagi kita bahwa tidak gemuk tidak semakna dengan kurus, tidak kaya tidak semakna dengan miskin, tidak pandai tidak semakna dengan bodoh dan tidak terang tidak sama dengan gelap.
Pertanyaannya, apakah semua kata negatif tidak sama dengan kata privatif?
Tentu saja tidak semua, ada juga beberapa kata negatif yang semakna dengan kata privatif, misalnya tidak lulus yang semakna dengan gagal, tidak hidup semakna dengan mati, tidak pergi semakna dengan ditempat dan lain sebagainya. Sampai disini kita sudah tahu sedikit tentang kemampuan teknis dalam berdiskusi dari sisi logika, berikutnya akan kita bahas kemampuan teknis yang lain, yaitu tentang penggunaan kata universal dan partial.
- Eduksi adalah suatu tekhnik mengubah suatu suatu proposisi kepada proposisi yang lain tanpa mengubah maknanya (maknanya tetap sama)contohnya : pernyataanku bukannya tanpa alasan dapat di ubah menjadi pernyataan ku beralasan- Macam-macam eduksi ada beberapa macam1. Konversi yaitu mengubah suatu proposisi kepada proposisi lain yang memiliki makna yang sama, dengan mengubah kedudukan subyek predikatnya yang aslidari bentuk S – P menjadi P - Scontohnya : Semua tembaga adalah logam menjadi sebagian logam adalah tembaga2. Obversi yaitu mengubah proposisi kepada proposisi lain yang maknanya tetap sama, dengan mengubah kualitas dari proposisi aslinyadari Bentuk S – P menjadi S – Non P atau dari S- Non P menjadi S - Pcontohnya : semua mahasiswa lulus menjadi semua mahasiswa bukan tak lulussemua kambing makan rumpun menjadi semua kambing bukan tak makan rumput 3. Kontraposisi yaitu mengubah suatu proposisi kepada proposisi lain yang memiliki makna yang sama, dengan mengubah kedudukan subyek predikatnya dan menegasikannya masing-masingdari bentuk S – P menjadi non P – non Ssyaratnya pertama dari makna aslinya di ubah kedalam bentuk obversi kemudian di ubah lagi kedalam bentuk konversi dan di ubah lagi kedalam bentuk Obversi contohnya : semua mahasiswa lulus(O) semua mahasia bukan tak lulus(K) semua yang tak lulus bukan mahasiswa(O) semua yang tak lulus adalah non mahasiswa ( syaratnya kalau di singkat menjadi O-K-O)4. Inversi yaitu mengubah suatu proposisi ke proposisi yang lain yang maknanya sama, dengan menegasikan masing-masing subyek predikatnyadari bentuk S – P menjadi non S – non Psyartanya ada dua yaitu OKOK dan KOKO lihat penjelasan dari kontraposisi aturan perubahannyacontohnya di buat sendiri !!NB : S adalah Subyek dan P adalah PredikatAda apa dengan eksistensi
Seperti kita ketahui, eksistensi adalah satu dari 2 pokok bahasan utama ilmu hikmah (filsafat) selain esensi. Dan yang menjadi pertanyaannya kita sekarang adalah apa aja sih yang dibicarakan orang di sekitar eksistensi ini? Mari kita teliti….
Pembicaraan eksistensi ini dimulai dari telaahan tentang aksistensi dengan dua lawannya, yaitu tidak eksistensi (adam) dan esensi. Kemudian yang kedua baru ketahap pembicaraan mengenai bagian-bagian dari keberadaan (eksistensi).
Apa saja sih yang disebut dengan ’ADA’? Apa saja bagian-bagian yang disebut ‘ADA’ atau keberadaan (eksistensi) itu ? Karena pokok bahasan ini begitu strategisnya, tentu saja kita harus menyiapkan waktu khusus dan tempat yang memadai untuk membahasnya secara mendalam.
Dan sebagai permulaan, diruang yang terbatas ini kita akan membicarakan persoalan ini secara bertahap. Sekarang kita mulai dari pengenalan terhadap bagian-bagian keberadaan (eksistensi) itu terlebih dahulu.
Orang-orang tua jaman dulu membagi pokok bahasan ini kedalam berbagai kelompok (spesies), seperti realitas objektif vs realitas mental, Realitas keniscayaan vs kemungkinan, realitas baru vs lama, realitas yang tetap vs yang berubah, realitas tunggal vs berbilang, realitas potensial vs aktual, dan realitas substansi vs aksiden.
Untuk tahap awal tulisan ini, kita tidak akan membahas semua pembagian realitas ‘ADA’ itu secara terperinci, tapi kita akan mulai dari pengenalan tentang apakah yang disebut dengan aksistensi qua material, Eksistensi qua kuantitas dan eksistensi qua eksistensi?
Bagaimana kita mengenal realitas yang ada, ini diperlukan study yang teliti karena masih banyak perbedaan pendapat juga dikalangan filsuf modern. Perbedaan pendapat ini terkadang lunak tetapi sering juga kita menemukan perbedaan mereka sudah sampai kedalam hal-hal yang prinsip.
Kita ambil aja contoh seperti pembagian ganjil vs genap, hitam vs putih, kecil vs besar, serupa vs berbeda, tinggi vs rendah…, sekilas pembagian ini sudah sering kita hadapi dan lihat sehari-hari, tapi apakah keberadaan (eksistensi) ‘ADA’ nya realitas itu termasuk ‘ADA’ yang ‘ADA’ (aksistensi qua eksistensi) , atau satu sama lain berbeda keberadaannya (eksistensinya) ?
Sebelum kita mengenal adanya relalitas ‘ADA’ yang meliputi ‘ADA’ secara niscaya dan mungkin, baru dan lama, tetap dan berubah, tunggal dan berbilang, potensial dan aktual, substansi dan aksiden alam bawah sadar kita sering membimbing kita selalu kepersoalan ‘ADA’ secara YANG OBJEKTIF saja.
Dan kalaupun sudah sedikit maju dan banyak baca buku-bukunya Pak Francis Bacon, Rene Descart dan buku-buku filsafat positivisme Auguste Comte, barulah kita terkadang sempat membolak balik kemungkianan ‘ADA’ yang lain , yaitu ada secara mental. Disinilah keterlambat dan sekaligus persoalan kita, sehingga sering timbul pertanyaan, apakah eksistensi ‘ADA’ yang dimaksud itu berubah-ubah tergantung dari sudut pandang sipeneliti?
Tentu saja kalau kita sudah memahami realitas dan bagian keberadaan (eksistensi) itu sendiri, pertanyaan seperti itu sudah tidak perlu lagi J karena bisa dengan mudah kita lihat dan masuk ke telaahan realitas eksistensi ‘ADA’ yang TETAP dan ‘ADA’ yang BERUBAH-UBAH. Apanya yang berubah? Objeknya atau subjeknya? Ini akan menjadi pokok bahasan tersendiri dibagian realitas Tetap vs realitas Berubah.
Kembali ke contoh diatas, dalam contoh diatas seperti hitam vs putih dan seterusnya itu, tidak ada satupun yang bisa kita sebut sebagai eksistensi qua eksistensi, kecuali contoh tunggal dan berbilang yang agak mirip dengan eksistensi qua eksistensi, namun tetap kita tidak bisa menyebutnya sebagai eksistensi qua eksistensi. Contoh-contoh tersebut diatas adalah tidak lebih dari contoh-contoh eksistensi qua material dan eksistensi qua quantitas.
Jadi yang disebut eksistensi qua eksistensi itu seperti apa contohnya? Contohnya adalah seperti realitas Tunggal vs Berbilang dan Niscaya vs Mungkin J
Sampai disini saya rasa kita sudah bisa menjadi lebih jelas lagi, bahwa kita akan disodorkan kepersoalan aneka ragam pembagian eksistensi, dengan pengenalan secara umum ini saya rasa sekarang kita bisa menjadi lebih mudah lagi untuk memetakan persoalan filsafat
Dan kalaupun sudah sedikit maju dan banyak baca buku-bukunya Pak Francis Bacon, Rene Descart dan buku-buku filsafat positivisme Auguste Comte, barulah kita terkadang sempat membolak balik kemungkianan ‘ADA’ yang lain , yaitu ada secara mental. Disinilah keterlambat dan sekaligus persoalan kita, sehingga sering timbul pertanyaan, apakah eksistensi ‘ADA’ yang dimaksud itu berubah-ubah tergantung dari sudut pandang sipeneliti?
Tentu saja kalau kita sudah memahami realitas dan bagian keberadaan (eksistensi) itu sendiri, pertanyaan seperti itu sudah tidak perlu lagi J karena bisa dengan mudah kita lihat dan masuk ke telaahan realitas eksistensi ‘ADA’ yang TETAP dan ‘ADA’ yang BERUBAH-UBAH. Apanya yang berubah? Objeknya atau subjeknya? Ini akan menjadi pokok bahasan tersendiri dibagian realitas Tetap vs realitas Berubah.
Kembali ke contoh diatas, dalam contoh diatas seperti hitam vs putih dan seterusnya itu, tidak ada satupun yang bisa kita sebut sebagai eksistensi qua eksistensi, kecuali contoh tunggal dan berbilang yang agak mirip dengan eksistensi qua eksistensi, namun tetap kita tidak bisa menyebutnya sebagai eksistensi qua eksistensi. Contoh-contoh tersebut diatas adalah tidak lebih dari contoh-contoh eksistensi qua material dan eksistensi qua quantitas.
Jadi yang disebut eksistensi qua eksistensi itu seperti apa contohnya? Contohnya adalah seperti realitas Tunggal vs Berbilang dan Niscaya vs Mungkin J
Sampai disini saya rasa kita sudah bisa menjadi lebih jelas lagi, bahwa kita akan disodorkan kepersoalan aneka ragam pembagian eksistensi, dengan pengenalan secara umum ini saya rasa sekarang kita bisa menjadi lebih mudah lagi untuk memetakan persoalan filsafat J
Motivasi Mencari Pencipta
Di antara kelebihan dan keistimewaan manusia dari makhluk lainnya adalah adanya rasa ingin tahu (kuriositas) terhadap berbagai realitas dan hakikat. Setiap manusia memiliki sifat tersebut -sebagai fitrah yang bersemayam di dalam jati dirinya- yang mulai tampak sejak masa kanak-kanak sampai akhir usianya. Perasaan tersebut bukan hanya mendorong seseorang untuk mengetahui dan mengenal segala apa yang ada di hadapan matanya dan yang ia dengar, bahkan perasaan itupun mendorongnya ingin mengenal dan mengetahui siapa dirinya dan penciptanya.
Lebih jauh lagi perasaan itu akan mendorong seseorang untuk memikirkan berbagai persoalan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat non-materi, yang kemudian timbullah berbagai pertanyaan di dalam lubuk hatinya yang dalam, antara lain: Apakah ada wujud lain yang bersifat non-materi? Jika memang ada, apakah ada hubungan antara alam non-materi dengan alam materi ini? Jika benar terdapat relasi di antara keduanya, apakah wujud non-materi itu sebagai pencipta alam materi ini? Apakah wujud manusia itu terbatas pada badan fisikal ini saja? Apakah hidupnya terbatas pada kehidupan di dunia ini? Ataukah ada kehidupan lain? Apabila kehidupan lain itu ada, apakah ada hubungan di antara kehidupan duniawi ini dan kehidupan ukhrawi? Dan serentetan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Dengan demikian, naluri rasa ingin tahu itu merupakan motivasi utama yang mendorong seseorang untuk mencari berbagai persoalan, termasuk yang berkaitan dengan dirinya dan penciptanya.
Motivasi lainnya yang juga sangat kuat membangkitkan keinginan seseorang untuk mengetahui berbagai persoalan termasuk penciptanya adalah rasa ingin memenuhi berbagai kebutuhan dalam hidupnya di dunia ini, rasa ingin meraih keamanan dan kebahagiaan yang sejati. Oleh karena itu, ia berusaha mengerahkan segala pikiran dan pengetahuannya demi memperoleh kebahagiaan dan keamanan. Karena dengan meyakini adanya pencipta dirinya dan alam semesta ini akan membantunya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya dan meraih kesenangan dan keuntungan yang diinginkan serta melindungi dirinya dari bahaya yang mengancamnya.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa fitrah mencari keuntungan, kebahagiaan dan rasa aman dari marabahaya merupakan pendorong lainnya untuk mencari Tuhan pencipta. Berdasarkan pandangan ini dapat kita ketahui bahwa mencari Tuhan pencipta merupakan naluri tersendiri pada diri setiap manusia sehinggga tidak perlu lagi menetapkan keberadaannya dengan argumentasi. Tetapi, karena naluri dan kecenderungan semacam itu tidak dapat dirasakan secara langsung -berbeda halnya dengan hal-hal yang bersifat indrawi yang dapat dirasakan secara langsung- maka sangat mungkin seseorang akan meragukan dan bahkan mengingkari keberadaan dirinya dan penciptanya ketika ia berada pada kondisi yang menyenangkan, keamanannya terjamin, segala kebutuhan materinya dapat terpenuhi dengan mudah dan tidak menghadapi dan mengalami problem yang berarti.
Dengan demikian j
elaslah bahwa dorongan naluri untuk mengetahui berbagai hakikat dari satu sisi, dan motifasi untuk meraih keuntungan, kebahagiaan dan keamanan dari segala bahaya dari sisi lain, menjadi alasan kuat bagi seseorang untuk memikirkan dan menemukan jati dirinya dan siapa penciptanya.
Oleh karena itu, ketika seseorang mendengar seruan orang-orang yang beragama atau membaca kisah dan ihwal orang-orang besar dalam sejarah yang mengaku sebagai utusan Sang Pencipta alam semesta ini untuk mengajak umat manusia mengenal dirinya dan Tuhan pencipta dan menuntun umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, maka tentunya -dengan dorongan naluri tersebut- akal pikirannya tersentuh untuk berpikir, merenung dan mengenal siapa dirinya, bahkan hatinya akan tergerak untuk mencari satu keyakinan atau agama dan melihat sejauh mana kebenaran klaim orang-orang tersebut.
Tetapi tidak sedikit orang-orang yang memang tidak tergerak hatinya untuk mengenal diri dan penciptanya. Biasanya sikap seperti itu menghamipiri mereka karena mereka ingin hidup santai serta suka berleha-leha, atau karena mereka meyakini bahwa usaha semacam itu tidak akan mendatangkan keuntungan dan membuahkan hasil apa-apa, cepat ataupun lambat. Sesungguhnya orang-orang yang memiliki pemikiran semacam ini pada suatu saat nanti akan ditimpa berbagai akibat buruk kemalasan dan kecongkakannya tersebut.
Ada pula sebagian orang lainnya merasa enggan untuk berpikir dan memahami siapa dirinya dan penciptanya dengan alasan bahwa: memikirkan hal-hal yang seperti itu hanya membuang-buang waktu dan energi saja sementara hasilnya pun tidak dapat diharapkan secara nyata. Dengan demikian -menurut mereka- alangkah baiknya jika tenaga dan waktu ini dikerahkan untuk usaha-usaha yang dapat memberikan keuntungan yang jelas dan lebih banyak daripada harus mencari dan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan agama yang belum jelas hasilnya. Mereka mengira bahwa tidak mungkin keuntungan dan kebahagiaan itu dapat diraih melalui jalan agama. Padahal adanya kemungkinan dan harapan terhadap keuntungan dan kebahagiaan yang ditempuh melalui jalan agama itu tidak lebih kecil daripada kemungkinan dan harapan yang ditempun melalui jalan-jalan ilmiah atau lainnya. Sementara masalah-masalah ilmiah itupun baru akan diperoleh hasilnya setelah puluhan tahun lamanya dan dengan mengerahkan segala upaya dan pemikiran.
Biasanya seseorang itu baru akan menyadari tentang perlunya mencari dan mengenal Tuhan pencipta dirinya dan alam semesta ini, ketika ia berada pada kondisi yang sangat sulit yang tidak mungkin lagi dapat ia pecahkan dengan sendiri, sementara tidak seorangpun dapat memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya. Ketika seorang pelaut -misalnya- dihempas dan diombang-ambing oleh ombak di tengah lautan nan luas, sementara badai bertiup dengan kencangnya, maka pada saat itulah ia merasakan ada kekuatan yang luar biasa yang bisa menyelamatkan dirinya, kekuatan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, pada saat itulah ia akan menemukan Sang Pencipta Yang Maha Kuasa di dalam lubuk hati dan jati dirinya.Tuhan, di dalam lubuk hatiku.
Kebenaran dan Kekeliruan
Berbicara tentang alam objektif memang mengasyikkan, orang-orang pintar jaman sekarang lebih menyukai apa-apa yang bisa dilihat dan didengar dengan mata kepala sendiri sebagai bukti nyata tentang keberadaan dan kebenaran suatu perkara daripada membicarakan yang ‘ndak jelas’ seperti alam ide, alam rasio, dan alam ketuhanan.
Ini sih masih bagus, ada diantara kita bahkan tidak peduli dengan dunia sekitarnya, ada yang tidak peduli karena memang tidak tahu tapi ada juga yang tahu tapi tetap tidak peduli...
Lha, apakah kita memang harus peduli dengan alam sekitar dan semua permasalahannya? Apakah kita perlu tahu tentang jarak antara satu planet dengan planet yang lainnya? Apakah kita harus peduli berapa kedalaman samudra dimana kita tidak pernah ‘berurusan’ dengannya? Apakah kita harus ‘ikut campur’ dengan permasalahan perang ditimur tengah dan lain-lain ?
Mempertanyakan hal-hal yang tidak ‘relevan’ dengan kehidupan kita sehari-hari yang disibukkan dengan urusan kantor, urusan cari makan, urusan sholat, urusan gereja, urusan pasantren, urusan sekolah anak-anak dan lain-lain AKAN kelihatan konyol dan ‘aneh’ bagi kebanyakan orang. Tapi apakah pertanyaan seperti diatas itu sebenarnya konyol bin aneh dalam hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari?
Dalam kitab suci Al-quran yang saya yakini akan kebenarannya, jelas secara terang benderang disampaikan “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,” (Ar’Rad : 19)
Sungguh pertanyaan-pertanyaan seperti diatas bukanlah pertanyaan konyol dan aneh untuk kita semua, tidak peduli apapun latar belakang kita, seharusnya kita mau duduk bersimpuh sebentar untuk memperhatikan alam sekitar kita, merenung dan bersyukur akan anugrah akal yang telah diberikanNya kepada kita.
Percumalah hidup ini bagi seorang pedagang kalau dia berdagang tanpa menggunakan ilmu, Tanpa ilmu yang mumpuni (lengkap) percuma juga orang-orang sholat, kegereja, ke klenteng, membela agama dan lain-lain karena akan tetap gemar menipu, memaki, korupsi dan lain-lain.
Sekarang saya anggap saja semuanya sudah setuju dengan pentingnya kita mengetahui alam sekitar dengan ilmu yang mumpuni . (Karena saya juga tidak menawarkan opsi yang lain hehehe… )
Setelah setuju dengan pentingnya untuk memperhatikan alam sekitar, sekarang yuk kita lihat dulu sedikit tentang apa yang menjadi model dan acuan keilmuan bagi orang-orang jaman sekarang, yaitu alam objektif (alam materi). Sebenarnya apakah alam materi itu ‘ADA’ dan BENAR ?
Kita lihat sebentar isi dari alam objektif itu…, apa sajakah isinya?
Kita semua bisa dengan mudah menyaksikan disekitar kita ada gunung, ada laut, ada gedung-gedung, ada rumah, ada mobil. Pertanyaannya adalah apakah benda itu ada dan benar adanya?
Jawabnya tentu ada dan benar adanya. Benda-benda itu ada dan bisa ditemukan dengan mudah disekitar kita. Benda-benda yang bisa dilihat dengan mata kepala ini disebut dengan ‘ada eksternal’ , yaitu ‘adanya’ diluar diri kita (terpisah dengan kita).
Dari jaman kuda gigit besi sampai dengan jaman secanggih sekarang ini kita telah menyaksikan
Sesuatu yang baru atau sesuatu yang lama?
Apakah manusia adalah sesuatu yang baru? Apakah bumi ini adalah sesuatu yang baru? Apakah kehidupan adalah sesuatu yang baru? Atau apakah kesemua-annya itu adalah barang lama? Atau ‘stok lama’ barang baru?
Sederet pertanyaan serupa diatas sering membikin para cerdik pandai dan tokoh ulama ‘tengkar’ dan saling menghujat karena sering diakhir cerita kedua kelompok saling ‘mempertahankan’ Tuhan dengan kesungguhannya dalam pemahaman masing-masing.
Perkara ini beda dengan ‘sindiran’ Gus Dur yang mengatakan ‘Tuhan kok dibela-bela, Tuhan tidak memputuhkan pembelaan dari makhluknya’ .
Dimana bedanya?
Sindiran Gus Dur itu ditujukan kepada orang-orang yang hobbinya ribut/tengkar ketimbang mencari solusi, dan perseteruan di kalangan cerdik pandai (filsuf) dengan tokoh ulama (teologis) ditujukan kepada kebenaran akan fakta yang dibuktikan dengan argumen rasional.
Kita lihat apa yang dikatakan oleh para ulama (Mutakallimin) tentang alam disekeliling kita. Menurut para ulama besar tempoe doeloe bahwa segala sesuatu yang ada dialam semesta ini adalah barang baru, termasuk manusia, bumi, planet, bintang , peyek, bakwan, ikan, setan, malaikat dan lain-lain. Semua hal mulai dari yang receh sampai dengan yang terbesar seperti langit dan bumi beserta isinya adalah sesuatu yang baru…
Pendapat ini disodorkan sebagai argumen rasional dengan memberikan contoh-contoh yang paling sederhana sampai kepada contoh yang kompleks. Contoh sederhana misalnya, manusia.
Manusia adalah barang baru karena dulu sebelum bermilyar-milyar tahun yang lalu manusia tidak/belum ada. Dari tidak ada menjadi ada disebut sebagai sesuatu yang baru. Mobil adalah sesuatu yang baru, karena pada jaman romawi mobil belum ada. Adanya mobil saat ini berasal dari tidak ada sebelumnya.
Setan, Jin, Malaikat, Strum listrik, Nuklir, gelombang infra merah, Sinar X, juga adalah barang baru. Alasannya sama…duuuluuuu bertriliun-triliun tahun sebelum ada langit dan bumi ‘benda-benda’ inipun belum ada. Karena mereka ada dari sesuatu yang tadinya tidak ada, maka benda-benda tersebut adalah benda baru.
Pertanyaannya sekarang, kalau semua ‘benda-benda’ itu baru, baik yang phisik, metaphisik, prophisik dan yang imateri apakah ada gerangan yang tidak baru?
Tentu ada, menurut para ulama besar (Mutakallimin) yang bukan barang baru adalah Tuhan semata. Tuhan bukanlah barang baru karena kalau dirunut sampai kemanapun, ber milyar-milyar triliun tahun sekalipun…, Tuhan sudah ada dan tidak pernah berawal. Jadi bagi Imam Ghozali (tokoh mutakallimin) kafirlah mereka yang mengatakan bahwa ada ‘barang’ lain yang ada sejak jaman sebelum penciptaan.
Argumen kelompok ulama ini mengatakan, kalau ada sesuatu yang ‘ada’ dan tidak pernah tidak ada selain Tuhan, maka sesuatu itu pasti tidak membutuhkan pada satu penciptaan, atau penyebab keterciptaannya.
Ini tidak mungkin karena kalau demikian adanya maka ‘sesuatu’ itu sudah menyamai Tuhan. Dan Tuhan adalah keberadaan yang niscaya secara esensi. Dalam berbagai argumen pembuktian, jelas menunjukkan hasil akhir bahwa sesuatu yang keberadaannya niscaya secara esensial adalah TUNGGAL. Jadi tidak mungkin ada 2 TUNGGAL…, Tunggal dibawa kemanapun artinya tetap sama , yaitu SATU!
Argumen rasional dari kelompok ulama ini dijawab oleh para cerdik pandai (filsuf) abad pertengahan dengan mengatakan ‘ Bahwa kebutuhan akan sebab dan penciptaan tidak ada kait mengkaitnya dengan apakah ‘benda’ itu tidak pernah tidak ada, tapi lebih tergantung kepada esensi (zhat) itu sendiri. Apakah esensi keberadaannya niscaya atau mungkin. (eksistensi niscaya atau eksistensi mungkin) .
Sebagai contoh,
Sinar matahari berasal dari matahari.
Dan sinar itu tidak mungkin bisa terpisah dari matahari.
Keberadaan sinar matahari itu tergantung 100% kepada matahari.
Dan satu hal lagi, keberadaan sinar matahari adalah pemberian dari matahari.
Sinar matahari ini akan senantiasa ada, baik kita bayangkan ataupun tidak, sinar matahari ini tidak akan pernah terlepas dari matahari.
Sinar matahari ‘ada’ sejak awal keberadaan matahari.
Disini coba kita ambil satu perumpamaan, umpamanya matahari ini tidak berpermulaan, apakah kemudian sinarnya mempunyai permulaan? Tentu tidak, Adanya matahari otomatis adanya sinar matahari.
Matahari adalah matahari, dan sinar matahari adalah sinar matahari.
Begitu pula dengan keberadaan ‘sesuatu’ yang lain yang tidak pernah berpermulaan, bukan berarti ‘sesuatu’ itu sama dengan Tuhan. Bedanya perumpamaan diatas dengan Tuhan adalah di ‘KEHENDAK DAN PERBUATANNYA’. Matahari tidak mempunyai kehendak terhadap sinarnya, tapi Tuhan mengetahui apa yang diperbuatNya.
Perumpaman seperti ini jelas ditulis dikitab suci Al-quran :
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(An-Nuur : 35 )
Sekarang kita sudah melihat dua kelompok menterjemahkan isi alam semesta ini, ulama jaman dulu mengatakan semua yang ada dialam semesta ini adalah sesuatu yang baru dan berasal dari ketidak adaan, dan kelompok cerdik pandai mengatakan bukan demikian, semuanya berasal dari sesuatu yang ada.
Sebab Akibat
Hukum sebab akibat, demikian bunyi kalimat yang sering kita jumpai disekitar kita. Apakah yang dibicarakan orang-orang disekitar hukum sebab akibat ini?
Pembicaraan tentang hukum sebab akibat ini walaupun dibolak balik rumus dan teorinya tetapi dalam satu hal haruslah selalu sama yaitu suatu sebab tertentu haruslah menghasilkan akibat tertentu pula sesuai dengan ciri khusus penyebabnya. Atau bisa juga dikatakan bahwa suatu akibat tertentu haruslah bersumber dari sebab tertentu pula dan bukan berasal dari suatu sebab yang tidak ada sangkut paut dan kesesuaian sama sekali.
Dengan kata lain, Antara berbagai keberadaan (eksistensi) dialam raya ini, terdapat hubungan satu sama (hubungan korespondensi). Dengan begitu maka ‘setiap sesuatu’ tidak mungkin memunculkan ‘apa saja!’ , dan juga ‘setiap sesuatu ’ tidak mungkin BERASAL DARI ‘apa saja’ , Sesuatu itu haruslah muncul dari sesuatu yang mempunyai hubungan korespondensi.
Kita lihat…
Belajar adalah ‘suatu’ SEBAB untuk menjadi pandai..
Minum adalah SEBAB bagi hilangnya rasa haus…
Makan adalah SEBAB bagi hilangnya rasa lapar…
Contoh diatas adalah contoh hubungan korespondensi antara suatu sebab dengan akibat yang dihasilkannya, dan untuk mengetahui akibat-akibat tersebut kita harus terlebih dahulu meneliti sebab-sebab khususnya.
Kita harus teliti, apakah makan bisa menyebabkan pintar?
Kita harus teliti, apakah minum bisa menyebabkan bodoh?
Kita harus teliti, apakah belajar bisa menyebabkan kenyang?
Tentu saja kita tidak pernah mendengar dan beranggapan demikian karena kita tidak pernah melihat hubungan antara sebab dan akibat yang serupa itu akan menghasilkan suatu korespondensi khusus.
Dengan contoh sederhana tersebut, kita bisa melihat bahwa dalam perkara memetakan hubungan korespondesi itu, kita dituntut harus menggunakan aturan berpikir yang benar sebagai tumpuan untuk meneliti sebab-sebab khusus dari suatu perkara, sehingga dibenak kita tidak akan terjadi kekeliruan atau kekacauan berpikir seperti beranggapan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini terdiri dari sekumpulan kejadian yang tidak teratur dan terjadi ‘semaunya’ tanpa ada hubungan satu sama lain secara korenpondensi.
Alam ini memiliki suatu sistem yang tersusun rapi yang masing-masing partikualarianya mempunyai hubungan kekhususan satu sama lain. Tidak ada satu partikulariapun yang menempati partikularia yang lain yang tidak mempunyai hubungan khusus.
Sekarang kita bertanya, apa sih yang dimaksud dengan sebab-sebab khusus itu? Menjawab pertanyaan semacam ini sebenarnya tidak bisa langsung spontan dengan mengemukakan definisi dan ciri kekhususan dari aneka sebab-sebab itu. Hal ini karena ditemukan fakta bahwa terdapat berbagai jawaban yang ‘menantang’ dalam ilmu pengetahuan modern. Misalnya, ilmu fisika, kimia, sosial, demokrasi, budaya dan lain-lain itu akan menjawab kekhususan suatu hubungan itu dengan pendekatan ‘terdekat’ dari bidang kajian masing-masing. Namun demikian apakah kita kemudian tidak mempunyai patokan atau acuan apapun dalam perkara meneliti sebab khusus itu?
Tentu saja kita punya, dan sebagai acuan terbanyak para ilmuwan masih mengacu kepada ‘ilmu lama’ dari Aristoteles yang membuat acuan dasar dalam meneliti kekhususan sebab, yakni :
1. SEBAB EFEKTIF
2. SEBAB FINAL
3. SEBAB MATERIAL
4. SEBAB FORMAL
Sekarang kita akan lihat tentang acuan yang dipakai oleh para ilmuwan sekarang ini berdasarkan ‘ilmu lama’ yang ditulis oleh Aristoteles tersebut. Aristoteles jauh-jauh hari memang sudah mengatakan walaupun dalam perkembangannya nanti akan ditemukan aneka ‘pengetahuan baru’ maka pengetahuan baru tersebut pada dasarnya pastilah memiliki keempat sebab kekhususan tersebut.
Kita lihat…
Misalnya kita akan membangun sebuah rumah, kita bisa teliti satu persatu sebab-sebab khusus bagi terciptanya sebuah rumah .
Kita mulai dari Tukang Bangunan , Tukang bangunan bagi terciptanya suatu rumah adalah SEBAB EFEKTIF, Dengan adanya tukang bangunan maka menciptakan suatu rumah akan menjadi mungkin dan efektif.
Kemudian yang kedua , Keinginan kita untuk tinggal dirumah tersebut, Keinginan dan kemampuan kita untuk membeli bahan material, tanah dan alat-alat yang terkait dengan bangunan rumah tersebut disebut sebagai SEBAB FINAL.
Yang ketiga adalah SEBAB MATERIAL, bahan bangunan, semen, pasir, batu, besi , keramik, genteng, air dan lain-lain adalah SEBAB Material yang memungkinkan Tukang Bangunan untuk menciptakan rumah.
Dan yang terakhir adalah SEBAB FORMAL, yaitu bagaimana kita harus membuat rumah yang baik, disain yang benar, izin bangunan yang legal dan lain-lain sebagainya sebagai syarat khusus untuk terbentuk rumah yang ideal dan sekaligus legal J
Perumpamaan membangun rumah tersebut, apakah demikian juga urutan sebab-sebab khususnya bagi seseorang yang menelaah science, agama, dan ilmu-ilmu sosial lainnya? Apa kata orang -orang fisika misalnya?
Bagi fisikawan, tidak ada yang lain kecuali urusannya gerak menggerak J , bagi fisikawan yang disebut dengan sebab khusus adalah PENGGERAK dan yang disebut dengan akibat khusus adalah yang BERGERAK.
Untuk contoh diatas, Tukang Bangunan bagi fisikawan adalah SEBAB, karena Tukang Bangunanlah yang membongkar dan memasang aneka bahan bangunan di posisi-posisi yang tepat untuk terciptanya sebuah bangunan.
Dan jangan kaget kalau nanti diprotes oleh ahli teologi yang mengatakan bahwa Tukang Bangunan tidaklah pantas disebut sebagai SEBAB karena mereka itu tidak lebih hanya menyusun barang-barang material yang sudah ada betebaran dimana-mana.
Begitu juga kalau kita ambil contoh yang lain, misalnya hubungan ayah dan ibu yang menghasilkan anak. Bagi fisikawan hal semacam ini adalah hal yang jelas dan terang benderang, bahwa mak dan bapak itu adalah SEBAB khusus akan terciptanya anak. Dan protes yang serupa juga datang dari ahli teologis, bahwa mak dan bapak si anak itu tidaklah pantas dikatakan sebagai SEBAB, karena kapasitas mereka berdua itu tidaklah lebih dari sekedar fasilitator saja J
Nah lho, baru sedikit kita melihat kedalam tentang apa yang dibicarakan diseputar sebab akibat ini sudah kita temukan ‘obrolan yang hangat’ antara 2 kubu J , ini yang bicara baru 2 kubu lho, bagaimana kalau 200 kubu?
Dan khabar baiknya adalah, walaupun yang bicara 200 kubu atau lebih, satuhal yang sudah disepakati oleh hampir semua kubu adalah bahwa alam semesta ini tidak tersusun secara acak-acakan, tidak tersusun secara kacau balau, melainkan tersusun dan tertata rapi melebihi rapinya susunan gigiku dan gigimu J
betapa ‘ada eksternal’ (Eksistensi eksternal) ini telah merubah peradaban anak manusia, dan faktanya memang sebagian besar dari ‘ada eksternal’ ini memang betul-betul BENAR dan NYATA.
Kita perhatikan…Bahwa dengan bantuan pancaindra dan alat perasa kita mampu membedakan panas dan dingin, api dan es, siang dan malam, panjang dan pendek, tinggi dan rendah, jauh dan dekat, besar dan kecil, bohong dan jujur, koruptor dan orang jujur, sapi dan dendeng. Sungguh fakta itu adalah kebenaran dan sama sekali tidak keliru. Maka sangat aneh kalau orang seperti Berkeley (filsup yang sekaligus uskup terkenal) mengatakan tidak ada realitas eksternal?
Itu sekilas tentang eksistensi eksternal, sekarang kita ke ‘benda’ yang berikutnya, kita bisa ‘membayangkan’ ada monas dijakarta, ada kota london di inggris, ada rendang diwarung padang, ada laut di di Timur tengah , ada pulau ditengah laut, ada cewek cantik dikampus. Pertanyaan yang sama, apakah betul yang kita bayangkan tadi ‘barangnya’ betul-betul ada didunia nyata?
Jawabnya, bisa ya bisa juga tidak, bisa ada bisa juga tidak. Membayangkan tentang adanya sesuatu ini disebut dengan ’ada mental’, yaitu ‘adanya’ didalam pikiran kita (‘dikepala’ kita)
Kenapa ‘ada mental’ (eksistensi mental) ini mendapat jawaban tidap pasti? Bisa iya bisa tidak, bisa ada bisa tidak? Ini menarik…, yuk kita lihat ilustrasinya.
Misal, saya membayangkan ada monas dijakarta…, apakah ‘bayangan’ saya itu betul-betul ‘benar’ (kebenaran) atau salah (kekeliruan)? Setelah saya lihat dengan mata kepala saya sendiri memang betul ‘ada’ monas dijakarta, maka apa yang saya ‘bayangkan’ tadi adalah suatu kebenaran (Fakta monas betul-betul ada).
Fakta yang saya temukan dilapangan ini adalah merupakan ‘pengetahuan dan sumber pengetahuan’ bagi mental saya.
Dan bagaimana kalau sebaliknya? misalnya monas yang saya ‘bayangkan’ tadi sudah hanyut dan hilang dibawa Tsunami? Tentu saja ‘bayangan’ saya tentang ‘ada’ monas dijakarta tadi menjadi suatu kekeliruan (Fakta monas sudah tidak ada).
Fakta ‘lain’ yang saya temukan dilapangan ini juga merupakan ‘pengetahuan dan sumber pengetahuan’ bagi mental saya. Dalam dua skenario diatas, kita sekarang bisa memahami kenapa eksistensi mental tidak langsung otomatis bisa menjawab ada atau tidak ada.
Sekarang kita telah mengetahui perbedaan tentang keberadaan alam objektif, yaitu alam materi yang bisa disaksikan secara gamblang dan alam mental yang harus dengan sedikit mikir J
Kemarin disuatu milist yahoogroups ada yang tanya kepada saya, kenapa yang ada dipikiran disebut sebagai eksistensi mental (ada mental)? Apakah setiap perkara ‘ada’ (esksistensi) dinamai sesuai dengan keberadaan-nya? Misalnya, ada lukisan gambar Nyi Loro Kidul, Lukisan Kuda Terbang, Lukisan Bidadari, Lukisan gambar Yesus. Apakah ‘ada’ seperti itu disebut dengan ‘Eksistensi Lukisan ‘atau ‘Eksistensi Dinding’ (karena digantung didinding,red).
Tentu saja perkara seperti itu tidak bisa dinamai dengan ‘eksistensi lukisan’ ataupun ‘eksistensi dinding’ . Ada substansi yang sangat penting yang ketinggalan disitu, Bagi dinding lukisan gambar yang dilukis atau digantungkan disana tidaklah menjadi bagian dari dinding itu, bagi dinding lukisan itu bukanlah PENGETAHUAN DAN SUMBER PENGETAHUAN dinding tentang eksistensi gambar (keberadaan gambar itu dalam alam nyata). Sedangkan lukisan yang ada dialam mental merupakan pengetahuan dan sumber pengetahuan bagi orang yang membayangkannya.
FILSAFAT ILUIMINASI DAN PERIPATETIK
Kajian tentang filsafat pada dasarnya selalu ‘berputar’ disekitar kesejatian eksistensi (keberadaan) dan atau kesejatian esensi (keapaan) . Dari kedua ‘kesejatian’ ini yang manakah yang lebih utama?
Didalam literatur kuno, kita bisa menemui setidaknya ada dua kelompok besar sebagai peletak dasar kajian-kajian filafat tinggi, dan masing-masing kelompok dikenal dengan kelompok metode iluminasi dan peripatetik.
Metode iluminasi mempercayai bahwa dalam mengkaji filsafat tinggi (Ilahiah) atau ketuhanan, tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan argumentasi (istidlal) dan penalaran (ta’aqqul) saja, tetapi lebih dari itu yaitu diperlukannya penyucian jiwa serta perjuangan melawan hawa nafsu untuk menyingkap berbagai hakikat.
Metode Iluminasi ini mendapat dukungan dari banyak pihak terutama kalangan filsuf Islam, penganut paham ini dinamakan dengan kelompok paham iluminasionis dengan tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Syekh Syihabuddin Syuhrawardi.
Berbeda dengan kelompok iluminasionis, kelompok metode peripatetik yang diilhami oleh Aristoteles mempercayai bahwa argumentasi adalah tempat bertumpunya segala persoalan. Kelompok ini terkenal dengan tokohnya yang bernama Syekh Ar Ra’is Ibnu Sina.
Plato terkadang juga dikaitkan dengan kelompok iluminasionis, namun demikian bagaimana kebenarannya masih perlu dikaji lebih dalam lagi berhubung penulis sejarah filsafat yang terkenal seperti Syahristani sekalipun tidak pernah menyebut Plato sebagai penganut paham ini. Kecuali dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Syuhrawardi dalam bukunya ‘Hikmah al Isyraq’ bahwa Phytagoras dan Plato adalah termasuk dari beberapa cendikiawan kuno yang menganut aliran iluminatif.
Terlepas dari apakah Plato termasuk orang yang menganut paham iluminasionis ataupun bukan, namun kita perlu mengingat kembali landasan filsafat plato yang terkenal tentang hakikat (filsafat tinggi). Plato meletakkan pandangannya kepada tiga pilar utama yaitu :
1. Teori Ide.
Menurut teori ini apa-apa yang disaksikan manusia didunia ini, baik substansi ataupun aksiden, pada hakikatnya semua itu sudah ada didunia lain. Yang kita saksikan didunia ini
semunya hanya semacam cermin atau bayangan dari dunia lain.
2. Teori tentang roh manusia.
Plato meyakini bahwa sebelum jasad manusia tercipta (manusia terlahir) , maka rohnya telah berada didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna, yaitu dunia ide. Setelah jasad tercipta maka roh menempatinya dan sekaligus terikat dengannya.
3. Plato menyimpulkan bahwa ilmu itu adalah mengingat kembali (remind) dan BUKAN mempelajari, yakni apa saja yang kita pelajari didunia ini pada hakikatnya adalah pengingatan kembali terhadap apa-apa yang sudah pernah kita ketahui sebelumnya. Logikanya adalah karena sebelum roh bergabung dengan jasad, roh tersebut SUDAH ADA didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna dan telah menyaksikan dunia tersebut, dan dikarenakan hakikat dari segala sesuatu itu adalah di ‘ide’ nya maka seyogyanya ide ini telah mengetahui berbagai hakikat. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang ada setelah roh terikat dengan jasad tidak lain adalah sesuatu yang tadinya kita sudah tahu dan sekarang sudah terlupakan.
Plato menjelaskan kemudian bahwa karena roh sudah terikat didalam jasad, maka roh tidak bisa lagi mendapatkan cahaya sebagaimana yang tadinya dia dapatkan. Hal ini persis seperti tirai yang menghalangi cermin sehingga cermin tidak bisa menerima pancaran cahaya karena terhalang oleh tirai tersebut.
Dan ini hanya bisa disingkap dengan proses dialektika, atau metode iluminasi (penyucian jiwa , penahanan hawa nafsu dll) sehingga pancaran cahaya dapat masuk lagi kedalam cermin dan dan sekaligus bisa lagi merefleksikan gambaran dari dunia lain tadi.
Pandangan ini di tolak keras oleh Aristoteles, menurut Aristoteles perkara ‘ide’ itu adalah urusan mental (zhihn) , jadi tidak ada itu yang namanya universalia ‘ide’ .
Kedua, masalah roh…, Aristoteles percaya bahwa roh itu diciptakan seiring atau hampir bersamaan dengan penciptaan jasad. Dan jasad bukan merupakan tirai pengahalang sama sekali bagi roh, bahkan dengan ‘bantuan’ jasadlah roh baru bisa mendapatkan semua informasi dan ilmu baru. Pengetahuan dan informasi yang didapatkan roh adalah melalui perantara jasad berupa panca indra dan instrumen jasad lainnya. Dan lanjut Aristoteles lagi, bahwa roh itu tidak pernah berada didunia lain sehingga roh itu sudah built up dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Manusia Suci
Apakah agama itu? Agama adalah ideologi yang bersumber dari Tuhan? Apakah ideologi itu? Ideologi adalah serangkaian pengetahuan yang telah menjadi pedoman hidup? Apakah pengetahuan itu? Pengetahuan adalah kesadaran tentang eksistensi sesuatu? Apakah kesadaran itu? Kesadaran adalah agama!Serangkaian tanya jawab di atas belum dijadikan bahan renungan bagi manusia pada umumnya sebagai makhluk yang berakal. Padahal kesadaran bahwa manusia sebagai makhluk yang berakal pasti akan menggunakan akalnya untuk mengambil apa-apa yang bermanfaat untuknya dan menghindari apa-apa yang akan merugikan dan mencelakakannya. Dalam mengambil keputusan tentang pilihan-pilihannya tersebut tentunya diperlukan adanya kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dan larangan-larangan yang harus dihindari, sehingga apa yang menjadi pilihannya benar-benar merupakan kesadaran atas kehendaknya sendiri bukan atas dasar keterpaksaan. Inilah agama, tidak ada paksaan dalam beragama, karena agama adalah sebuah keyakinan dari sederetan pengetahuan yang membentuk kesadaran yang tak terelakkan.Biarpun pada dasarnya manusia sadar ataupun tidak sadar selalu mengikuti—memiliki—suatu ideologi. Seperti Nitzsche misalnya dengan konsep “manusia unggul” yaitu manusia yang kuat dan mampu mengatasi segala sesuatu, bukan manusia yang ‘cengeng’ dan menyerahkan ketidakberdayaannya kepada Tuhan. Juga konsep tentang “absurditas—kesia-siaan hidup”—seperti Albert Camus, bahwa dunia ini adalah absurd, tidak ada nilai, tidak ada masa depan, dunia ini irasional tidak mampu menerangkan persoalan-persoalan hidup. Inilah ideologi dari sebagian para antiteis. Demikian pula para teis yang meyakini bahwa agama merupakan sumber ideologi yang diberikan Tuhan pencipta alam semesta beserta isinya. Tuhan telah memberikan agama sebagai ideologi—pedoman hidup—untuk manusia melalui para utusanNya.Namun pada kenyataannya dalam kehidupan ini terdapat banyak ‘agama’, dan setiap ‘agama’ pun mempunyai beragam sekte (aliran), dimana setiap aliran mempunyai ideologinya masing-masing. Dalam persoalan seperti ini yang menjadi pertanyaan adalah apakah Tuhan memberikan banyak agama atau satu agama? Kalau hanya satu, bagaimana membedakan antara ‘agama’ yang benar (asli) dan yang salah (palsu), mana aliran yang lurus dan mana aliran yang sesat?
Keyakinan bahwa pada hakekatnya semua agama itu berbeda, hal ini didasarkan bahwa manusia pada suatu masa dan pada suatu tempat, berlainan dengan manusia pada suatu masa dan pada suatu tempat yang lain. Manusia pada zaman Adam berbeda dengan manusia pada zaman Ibrahim, manusia di Barat berbeda dengan manusia di Timur. Sehingga agama pada masa Adam tidak bisa diterapkan di masa Ibrahim, agama yang berlaku di Barat tidak bisa diberlakukan di Timur, agama untuk orang Israel tidak cocok untuk orang Persia, manusia zaman modern tidak bisa mengambil pelajaran sejarah dari manusia sebelum masehi, manusia di Barat tidak bisa berperilaku seperti manusia di Timur, orang Israel tidak bisa diperlakukan seperti orang Persia, karena memang pada dasarnya semuanya berbeda. Sehingga agama diturunkan sesuai dengan keadaan dan tempat yang cocok untuk manusia tersebut.
Sedangkan keyakinan bahwa hanya satu agama yang benar, hal ini didasarkan bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah sama, oleh karena itu tidak ada keterbatasan waktu dan tempat, agama berlaku universal. Karena agama berlaku universal, maka agama dimasa lampu sampai akhir zaman harus dapat diterima oleh manusia kapan saja dan dimana saja, karena bersumber dari Tuhan Yang Satu yaitu Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Terjadinya bermacam agama dan berbagai aliran ini disebabkan oleh adanya nafsu—kedengkian—kesombongan—kebodohan—manusia. Dengan berbagai kepentingan baik politik, ekonomi, sosial dan budaya, manusia memanfaatkan agama yang telah menjadi institusi yang mapan untuk memenuhi keinginan nafsunya. Dengan demikian orang-orang awam yang bodoh yang melihat agama hanya sebatas identitas dan institusi bukan melihatnya sebagai ideologi akan mengikuti para elit yang telah dipenuhi oleh nafsu setan. Agama para elit, agama para agresor dan agama para penindas, agama yang memaksa, agama yang eksklusif akan memanfaatkan para awam yang bodoh sebagai penyokong agama mereka, sehingga sebagian besar terkelabui. Hanya sedikit manusia yang menyadarinya.
Hanya orang yang tercerahkan dan orang suci yang mampu membedakan mana agama (ideologi—aliran) yang telah dimanfaatkan oleh nafsu-nafsu manusia dan mana agama yang suci. Manusia seperti ini sanggup menerima dan mengakui agama yang disampaikan Tuhan melalui utusanNya baik dimasa lalu, sekarang maupun yang akan datang, manusia seperti ini setiap ‘ditinggalkan’ oleh seorang utusan akan selalu mengikuti wasiatnya dan pada saat munculnya utusan yang menggantikannya akan selalu menerimanya. Sekali lagi manusia seperti ini adalah manusia suci yang tercerahkan oleh nur Tuhannya. Bukan manusia yang ada motif-motif, pretensi-pretensi tertentu sekecil apapun selain hanya semata-mata karena kebenaran dan keadilan Tuhan Yang Suci, tidak dapat menjadi kekasihNya selain kesucian.
Pengetahuan Kata
Sering dalam berdiskusi, terutama diskusi-diskusi dimilist yahoogroups kita kesulitan untuk bersepakat tentang suatu persoalan yang sesungguhnya mudah. Persoalan-persoalan mudah tersebut sering menjadi persoalan berlarut-larut karena dua hal, pertama karena persoalan teknis, yaitu ketidak mampuan untuk membedakan satu kata dengan kata yang lainnya dan satu pernyataan dengan pernyataan lainnya. Kedua karena persoalan non teknis, yaitu keinginan untuk merpertahankan kecenderungan pribadi, kepentingan kelompok, dan aneka egoisme yang lainnya J
Sekarang kita lihat hal yang pertama dulu, yaitu persoalan teknis tentang pengetahuan kita terhadap kata-kata. Didalam berlogika kemampuan yang paling rendah yang harus dimiliki untuk meneliti kekeliruan berpikir, silogisme, analogi, generalisasi dan dilema adalah kemampuan untuk membedakan kata perkata. Permasalahan seperti ini sekilas kelihatannya sepele, tapi apakah betul permasalahan seperti ini adalah persoalan yang mudah dan sepele?
Mari kita lihat…
Kita sering ngeyel bersikeras mempersamakan kata tidak gemuk dengan kurus, tidak kaya dengan miskin, tidak terang dengan gelap, tidak pandai dengan bodoh dan sebagainya. Penggunaan kata-kata seperti itu tidaklah benar dan logis, karena kata tidak gemuk bukanlah berarti kurus, kata tidak gemuk untuk seseorang bisa saja berarti orang tersebut adalah orang yang berbadan atletis dan ideal.
Kata ‘tidak kaya’ tidak berarti seseorang itu miskin, tidak kaya bisa juga berarti orang yang mempunyai uang yang cukup, namun tidak sampai berlebihan sehingga dia belum layak disebut sebagai orang yang kaya.
Tidak pandai juga tidak bisa disamakan dengan bodoh, karena orang-orang yang sekolah dan kuliah sampai sarjana sekalipun banyak juga yang disebut sebagai orang yang tidak pandai, tapi juga tidak bisa dikatagorikan sebagai orang yang bodoh.
Dalam ilmu logika, persoalan seperti ini diatur khusus dalam sebuah bahasan, yakni tentang pengetahuan terhadap kata. Dalam masalah ini dikenal tiga istilah teknis, yaitu kata positif, negatif dan privatif.
Kata positif adalah suatu kata yang mempunyai pengertian tentang penegasan ‘adanya’ sesuatu terhadap dirinya sendiri, seperti :
Gemuk --à menunjukkan ‘adanya’ daging.
Kaya --à menunjukkan ‘adanya’ harta.
Terang --à menunjukkan ‘adanya’ cahaya.
Pandai --à menunjukkan ‘adanya’ ilmu.
Dan lain-lain
Kata Negatif adalah suatu kata yang yang diawali oleh kata-kata negasi seperti, tidak, non, tak, dan bukan, contohnya seperti :
Non Gemuk --à diawali kata ‘Non’
Tidak Kaya --à diawali kata ‘ tidak’
Tak Terang --à diawali kata ‘tak’
Tak Pandai --à diawali kata ‘tak’.
Dan lain-lain
Kata Privatif adalah suatu kata yang mempunyai pengertian tentang penegasan ‘tidak adanya’ sesuatu terhadap dirinya sendiri, seperti :
Kurus --à menunjukkan ‘ tidak adanya’ daging.
Miskin --à menunjukkan ‘ tidak adanya’ harta.
Gelap --à menunjukkan ‘ tidak adanya’ cahaya.
Bodoh --à menunjukkan ‘ tidak adanya’ ilmu.
Dan lain-lain
Dengan memperhatikan pengertian kata tersebut, maka sekarang makin jelaslah bagi kita bahwa tidak gemuk tidak semakna dengan kurus, tidak kaya tidak semakna dengan miskin, tidak pandai tidak semakna dengan bodoh dan tidak terang tidak sama dengan gelap.
Pertanyaannya, apakah semua kata negatif tidak sama dengan kata privatif?
Tentu saja tidak semua, ada juga beberapa kata negatif yang semakna dengan kata privatif, misalnya tidak lulus yang semakna dengan gagal, tidak hidup semakna dengan mati, tidak pergi semakna dengan ditempat dan lain sebagainya. Sampai disini kita sudah tahu sedikit tentang kemampuan teknis dalam berdiskusi dari sisi logika, berikutnya akan kita bahas kemampuan teknis yang lain, yaitu tentang penggunaan kata universal dan partial.
- Eduksi adalah suatu tekhnik mengubah suatu suatu proposisi kepada proposisi yang lain tanpa mengubah maknanya (maknanya tetap sama)contohnya : pernyataanku bukannya tanpa alasan dapat di ubah menjadi pernyataan ku beralasan- Macam-macam eduksi ada beberapa macam1. Konversi yaitu mengubah suatu proposisi kepada proposisi lain yang memiliki makna yang sama, dengan mengubah kedudukan subyek predikatnya yang aslidari bentuk S – P menjadi P - Scontohnya : Semua tembaga adalah logam menjadi sebagian logam adalah tembaga2. Obversi yaitu mengubah proposisi kepada proposisi lain yang maknanya tetap sama, dengan mengubah kualitas dari proposisi aslinyadari Bentuk S – P menjadi S – Non P atau dari S- Non P menjadi S - Pcontohnya : semua mahasiswa lulus menjadi semua mahasiswa bukan tak lulussemua kambing makan rumpun menjadi semua kambing bukan tak makan rumput 3. Kontraposisi yaitu mengubah suatu proposisi kepada proposisi lain yang memiliki makna yang sama, dengan mengubah kedudukan subyek predikatnya dan menegasikannya masing-masingdari bentuk S – P menjadi non P – non Ssyaratnya pertama dari makna aslinya di ubah kedalam bentuk obversi kemudian di ubah lagi kedalam bentuk konversi dan di ubah lagi kedalam bentuk Obversi contohnya : semua mahasiswa lulus(O) semua mahasia bukan tak lulus(K) semua yang tak lulus bukan mahasiswa(O) semua yang tak lulus adalah non mahasiswa ( syaratnya kalau di singkat menjadi O-K-O)4. Inversi yaitu mengubah suatu proposisi ke proposisi yang lain yang maknanya sama, dengan menegasikan masing-masing subyek predikatnyadari bentuk S – P menjadi non S – non Psyartanya ada dua yaitu OKOK dan KOKO lihat penjelasan dari kontraposisi aturan perubahannyacontohnya di buat sendiri !!NB : S adalah Subyek dan P adalah PredikatAda apa dengan eksistensi
Seperti kita ketahui, eksistensi adalah satu dari 2 pokok bahasan utama ilmu hikmah (filsafat) selain esensi. Dan yang menjadi pertanyaannya kita sekarang adalah apa aja sih yang dibicarakan orang di sekitar eksistensi ini? Mari kita teliti….
Pembicaraan eksistensi ini dimulai dari telaahan tentang aksistensi dengan dua lawannya, yaitu tidak eksistensi (adam) dan esensi. Kemudian yang kedua baru ketahap pembicaraan mengenai bagian-bagian dari keberadaan (eksistensi).
Apa saja sih yang disebut dengan ’ADA’? Apa saja bagian-bagian yang disebut ‘ADA’ atau keberadaan (eksistensi) itu ? Karena pokok bahasan ini begitu strategisnya, tentu saja kita harus menyiapkan waktu khusus dan tempat yang memadai untuk membahasnya secara mendalam.
Dan sebagai permulaan, diruang yang terbatas ini kita akan membicarakan persoalan ini secara bertahap. Sekarang kita mulai dari pengenalan terhadap bagian-bagian keberadaan (eksistensi) itu terlebih dahulu.
Orang-orang tua jaman dulu membagi pokok bahasan ini kedalam berbagai kelompok (spesies), seperti realitas objektif vs realitas mental, Realitas keniscayaan vs kemungkinan, realitas baru vs lama, realitas yang tetap vs yang berubah, realitas tunggal vs berbilang, realitas potensial vs aktual, dan realitas substansi vs aksiden.
Untuk tahap awal tulisan ini, kita tidak akan membahas semua pembagian realitas ‘ADA’ itu secara terperinci, tapi kita akan mulai dari pengenalan tentang apakah yang disebut dengan aksistensi qua material, Eksistensi qua kuantitas dan eksistensi qua eksistensi?
Bagaimana kita mengenal realitas yang ada, ini diperlukan study yang teliti karena masih banyak perbedaan pendapat juga dikalangan filsuf modern. Perbedaan pendapat ini terkadang lunak tetapi sering juga kita menemukan perbedaan mereka sudah sampai kedalam hal-hal yang prinsip.
Kita ambil aja contoh seperti pembagian ganjil vs genap, hitam vs putih, kecil vs besar, serupa vs berbeda, tinggi vs rendah…, sekilas pembagian ini sudah sering kita hadapi dan lihat sehari-hari, tapi apakah keberadaan (eksistensi) ‘ADA’ nya realitas itu termasuk ‘ADA’ yang ‘ADA’ (aksistensi qua eksistensi) , atau satu sama lain berbeda keberadaannya (eksistensinya) ?
Sebelum kita mengenal adanya relalitas ‘ADA’ yang meliputi ‘ADA’ secara niscaya dan mungkin, baru dan lama, tetap dan berubah, tunggal dan berbilang, potensial dan aktual, substansi dan aksiden alam bawah sadar kita sering membimbing kita selalu kepersoalan ‘ADA’ secara YANG OBJEKTIF saja.
Dan kalaupun sudah sedikit maju dan banyak baca buku-bukunya Pak Francis Bacon, Rene Descart dan buku-buku filsafat positivisme Auguste Comte, barulah kita terkadang sempat membolak balik kemungkianan ‘ADA’ yang lain , yaitu ada secara mental. Disinilah keterlambat dan sekaligus persoalan kita, sehingga sering timbul pertanyaan, apakah eksistensi ‘ADA’ yang dimaksud itu berubah-ubah tergantung dari sudut pandang sipeneliti?
Tentu saja kalau kita sudah memahami realitas dan bagian keberadaan (eksistensi) itu sendiri, pertanyaan seperti itu sudah tidak perlu lagi J karena bisa dengan mudah kita lihat dan masuk ke telaahan realitas eksistensi ‘ADA’ yang TETAP dan ‘ADA’ yang BERUBAH-UBAH. Apanya yang berubah? Objeknya atau subjeknya? Ini akan menjadi pokok bahasan tersendiri dibagian realitas Tetap vs realitas Berubah.
Kembali ke contoh diatas, dalam contoh diatas seperti hitam vs putih dan seterusnya itu, tidak ada satupun yang bisa kita sebut sebagai eksistensi qua eksistensi, kecuali contoh tunggal dan berbilang yang agak mirip dengan eksistensi qua eksistensi, namun tetap kita tidak bisa menyebutnya sebagai eksistensi qua eksistensi. Contoh-contoh tersebut diatas adalah tidak lebih dari contoh-contoh eksistensi qua material dan eksistensi qua quantitas.
Jadi yang disebut eksistensi qua eksistensi itu seperti apa contohnya? Contohnya adalah seperti realitas Tunggal vs Berbilang dan Niscaya vs Mungkin J
Sampai disini saya rasa kita sudah bisa menjadi lebih jelas lagi, bahwa kita akan disodorkan kepersoalan aneka ragam pembagian eksistensi, dengan pengenalan secara umum ini saya rasa sekarang kita bisa menjadi lebih mudah lagi untuk memetakan persoalan filsafat
Dan kalaupun sudah sedikit maju dan banyak baca buku-bukunya Pak Francis Bacon, Rene Descart dan buku-buku filsafat positivisme Auguste Comte, barulah kita terkadang sempat membolak balik kemungkianan ‘ADA’ yang lain , yaitu ada secara mental. Disinilah keterlambat dan sekaligus persoalan kita, sehingga sering timbul pertanyaan, apakah eksistensi ‘ADA’ yang dimaksud itu berubah-ubah tergantung dari sudut pandang sipeneliti?
Tentu saja kalau kita sudah memahami realitas dan bagian keberadaan (eksistensi) itu sendiri, pertanyaan seperti itu sudah tidak perlu lagi J karena bisa dengan mudah kita lihat dan masuk ke telaahan realitas eksistensi ‘ADA’ yang TETAP dan ‘ADA’ yang BERUBAH-UBAH. Apanya yang berubah? Objeknya atau subjeknya? Ini akan menjadi pokok bahasan tersendiri dibagian realitas Tetap vs realitas Berubah.
Kembali ke contoh diatas, dalam contoh diatas seperti hitam vs putih dan seterusnya itu, tidak ada satupun yang bisa kita sebut sebagai eksistensi qua eksistensi, kecuali contoh tunggal dan berbilang yang agak mirip dengan eksistensi qua eksistensi, namun tetap kita tidak bisa menyebutnya sebagai eksistensi qua eksistensi. Contoh-contoh tersebut diatas adalah tidak lebih dari contoh-contoh eksistensi qua material dan eksistensi qua quantitas.
Jadi yang disebut eksistensi qua eksistensi itu seperti apa contohnya? Contohnya adalah seperti realitas Tunggal vs Berbilang dan Niscaya vs Mungkin J
Sampai disini saya rasa kita sudah bisa menjadi lebih jelas lagi, bahwa kita akan disodorkan kepersoalan aneka ragam pembagian eksistensi, dengan pengenalan secara umum ini saya rasa sekarang kita bisa menjadi lebih mudah lagi untuk memetakan persoalan filsafat J
Motivasi Mencari Pencipta
Di antara kelebihan dan keistimewaan manusia dari makhluk lainnya adalah adanya rasa ingin tahu (kuriositas) terhadap berbagai realitas dan hakikat. Setiap manusia memiliki sifat tersebut -sebagai fitrah yang bersemayam di dalam jati dirinya- yang mulai tampak sejak masa kanak-kanak sampai akhir usianya. Perasaan tersebut bukan hanya mendorong seseorang untuk mengetahui dan mengenal segala apa yang ada di hadapan matanya dan yang ia dengar, bahkan perasaan itupun mendorongnya ingin mengenal dan mengetahui siapa dirinya dan penciptanya.
Lebih jauh lagi perasaan itu akan mendorong seseorang untuk memikirkan berbagai persoalan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat non-materi, yang kemudian timbullah berbagai pertanyaan di dalam lubuk hatinya yang dalam, antara lain: Apakah ada wujud lain yang bersifat non-materi? Jika memang ada, apakah ada hubungan antara alam non-materi dengan alam materi ini? Jika benar terdapat relasi di antara keduanya, apakah wujud non-materi itu sebagai pencipta alam materi ini? Apakah wujud manusia itu terbatas pada badan fisikal ini saja? Apakah hidupnya terbatas pada kehidupan di dunia ini? Ataukah ada kehidupan lain? Apabila kehidupan lain itu ada, apakah ada hubungan di antara kehidupan duniawi ini dan kehidupan ukhrawi? Dan serentetan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Dengan demikian, naluri rasa ingin tahu itu merupakan motivasi utama yang mendorong seseorang untuk mencari berbagai persoalan, termasuk yang berkaitan dengan dirinya dan penciptanya.
Motivasi lainnya yang juga sangat kuat membangkitkan keinginan seseorang untuk mengetahui berbagai persoalan termasuk penciptanya adalah rasa ingin memenuhi berbagai kebutuhan dalam hidupnya di dunia ini, rasa ingin meraih keamanan dan kebahagiaan yang sejati. Oleh karena itu, ia berusaha mengerahkan segala pikiran dan pengetahuannya demi memperoleh kebahagiaan dan keamanan. Karena dengan meyakini adanya pencipta dirinya dan alam semesta ini akan membantunya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya dan meraih kesenangan dan keuntungan yang diinginkan serta melindungi dirinya dari bahaya yang mengancamnya.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa fitrah mencari keuntungan, kebahagiaan dan rasa aman dari marabahaya merupakan pendorong lainnya untuk mencari Tuhan pencipta. Berdasarkan pandangan ini dapat kita ketahui bahwa mencari Tuhan pencipta merupakan naluri tersendiri pada diri setiap manusia sehinggga tidak perlu lagi menetapkan keberadaannya dengan argumentasi. Tetapi, karena naluri dan kecenderungan semacam itu tidak dapat dirasakan secara langsung -berbeda halnya dengan hal-hal yang bersifat indrawi yang dapat dirasakan secara langsung- maka sangat mungkin seseorang akan meragukan dan bahkan mengingkari keberadaan dirinya dan penciptanya ketika ia berada pada kondisi yang menyenangkan, keamanannya terjamin, segala kebutuhan materinya dapat terpenuhi dengan mudah dan tidak menghadapi dan mengalami problem yang berarti.
Dengan demikian j
elaslah bahwa dorongan naluri untuk mengetahui berbagai hakikat dari satu sisi, dan motifasi untuk meraih keuntungan, kebahagiaan dan keamanan dari segala bahaya dari sisi lain, menjadi alasan kuat bagi seseorang untuk memikirkan dan menemukan jati dirinya dan siapa penciptanya.
Oleh karena itu, ketika seseorang mendengar seruan orang-orang yang beragama atau membaca kisah dan ihwal orang-orang besar dalam sejarah yang mengaku sebagai utusan Sang Pencipta alam semesta ini untuk mengajak umat manusia mengenal dirinya dan Tuhan pencipta dan menuntun umat manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, maka tentunya -dengan dorongan naluri tersebut- akal pikirannya tersentuh untuk berpikir, merenung dan mengenal siapa dirinya, bahkan hatinya akan tergerak untuk mencari satu keyakinan atau agama dan melihat sejauh mana kebenaran klaim orang-orang tersebut.
Tetapi tidak sedikit orang-orang yang memang tidak tergerak hatinya untuk mengenal diri dan penciptanya. Biasanya sikap seperti itu menghamipiri mereka karena mereka ingin hidup santai serta suka berleha-leha, atau karena mereka meyakini bahwa usaha semacam itu tidak akan mendatangkan keuntungan dan membuahkan hasil apa-apa, cepat ataupun lambat. Sesungguhnya orang-orang yang memiliki pemikiran semacam ini pada suatu saat nanti akan ditimpa berbagai akibat buruk kemalasan dan kecongkakannya tersebut.
Ada pula sebagian orang lainnya merasa enggan untuk berpikir dan memahami siapa dirinya dan penciptanya dengan alasan bahwa: memikirkan hal-hal yang seperti itu hanya membuang-buang waktu dan energi saja sementara hasilnya pun tidak dapat diharapkan secara nyata. Dengan demikian -menurut mereka- alangkah baiknya jika tenaga dan waktu ini dikerahkan untuk usaha-usaha yang dapat memberikan keuntungan yang jelas dan lebih banyak daripada harus mencari dan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan agama yang belum jelas hasilnya. Mereka mengira bahwa tidak mungkin keuntungan dan kebahagiaan itu dapat diraih melalui jalan agama. Padahal adanya kemungkinan dan harapan terhadap keuntungan dan kebahagiaan yang ditempuh melalui jalan agama itu tidak lebih kecil daripada kemungkinan dan harapan yang ditempun melalui jalan-jalan ilmiah atau lainnya. Sementara masalah-masalah ilmiah itupun baru akan diperoleh hasilnya setelah puluhan tahun lamanya dan dengan mengerahkan segala upaya dan pemikiran.
Biasanya seseorang itu baru akan menyadari tentang perlunya mencari dan mengenal Tuhan pencipta dirinya dan alam semesta ini, ketika ia berada pada kondisi yang sangat sulit yang tidak mungkin lagi dapat ia pecahkan dengan sendiri, sementara tidak seorangpun dapat memberikan bantuan dan pertolongan kepadanya. Ketika seorang pelaut -misalnya- dihempas dan diombang-ambing oleh ombak di tengah lautan nan luas, sementara badai bertiup dengan kencangnya, maka pada saat itulah ia merasakan ada kekuatan yang luar biasa yang bisa menyelamatkan dirinya, kekuatan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, pada saat itulah ia akan menemukan Sang Pencipta Yang Maha Kuasa di dalam lubuk hati dan jati dirinya.Tuhan, di dalam lubuk hatiku.
Kebenaran dan Kekeliruan
Berbicara tentang alam objektif memang mengasyikkan, orang-orang pintar jaman sekarang lebih menyukai apa-apa yang bisa dilihat dan didengar dengan mata kepala sendiri sebagai bukti nyata tentang keberadaan dan kebenaran suatu perkara daripada membicarakan yang ‘ndak jelas’ seperti alam ide, alam rasio, dan alam ketuhanan.
Ini sih masih bagus, ada diantara kita bahkan tidak peduli dengan dunia sekitarnya, ada yang tidak peduli karena memang tidak tahu tapi ada juga yang tahu tapi tetap tidak peduli...
Lha, apakah kita memang harus peduli dengan alam sekitar dan semua permasalahannya? Apakah kita perlu tahu tentang jarak antara satu planet dengan planet yang lainnya? Apakah kita harus peduli berapa kedalaman samudra dimana kita tidak pernah ‘berurusan’ dengannya? Apakah kita harus ‘ikut campur’ dengan permasalahan perang ditimur tengah dan lain-lain ?
Mempertanyakan hal-hal yang tidak ‘relevan’ dengan kehidupan kita sehari-hari yang disibukkan dengan urusan kantor, urusan cari makan, urusan sholat, urusan gereja, urusan pasantren, urusan sekolah anak-anak dan lain-lain AKAN kelihatan konyol dan ‘aneh’ bagi kebanyakan orang. Tapi apakah pertanyaan seperti diatas itu sebenarnya konyol bin aneh dalam hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari?
Dalam kitab suci Al-quran yang saya yakini akan kebenarannya, jelas secara terang benderang disampaikan “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,” (Ar’Rad : 19)
Sungguh pertanyaan-pertanyaan seperti diatas bukanlah pertanyaan konyol dan aneh untuk kita semua, tidak peduli apapun latar belakang kita, seharusnya kita mau duduk bersimpuh sebentar untuk memperhatikan alam sekitar kita, merenung dan bersyukur akan anugrah akal yang telah diberikanNya kepada kita.
Percumalah hidup ini bagi seorang pedagang kalau dia berdagang tanpa menggunakan ilmu, Tanpa ilmu yang mumpuni (lengkap) percuma juga orang-orang sholat, kegereja, ke klenteng, membela agama dan lain-lain karena akan tetap gemar menipu, memaki, korupsi dan lain-lain.
Sekarang saya anggap saja semuanya sudah setuju dengan pentingnya kita mengetahui alam sekitar dengan ilmu yang mumpuni . (Karena saya juga tidak menawarkan opsi yang lain hehehe… )
Setelah setuju dengan pentingnya untuk memperhatikan alam sekitar, sekarang yuk kita lihat dulu sedikit tentang apa yang menjadi model dan acuan keilmuan bagi orang-orang jaman sekarang, yaitu alam objektif (alam materi). Sebenarnya apakah alam materi itu ‘ADA’ dan BENAR ?
Kita lihat sebentar isi dari alam objektif itu…, apa sajakah isinya?
Kita semua bisa dengan mudah menyaksikan disekitar kita ada gunung, ada laut, ada gedung-gedung, ada rumah, ada mobil. Pertanyaannya adalah apakah benda itu ada dan benar adanya?
Jawabnya tentu ada dan benar adanya. Benda-benda itu ada dan bisa ditemukan dengan mudah disekitar kita. Benda-benda yang bisa dilihat dengan mata kepala ini disebut dengan ‘ada eksternal’ , yaitu ‘adanya’ diluar diri kita (terpisah dengan kita).
Dari jaman kuda gigit besi sampai dengan jaman secanggih sekarang ini kita telah menyaksikan
Sesuatu yang baru atau sesuatu yang lama?
Apakah manusia adalah sesuatu yang baru? Apakah bumi ini adalah sesuatu yang baru? Apakah kehidupan adalah sesuatu yang baru? Atau apakah kesemua-annya itu adalah barang lama? Atau ‘stok lama’ barang baru?
Sederet pertanyaan serupa diatas sering membikin para cerdik pandai dan tokoh ulama ‘tengkar’ dan saling menghujat karena sering diakhir cerita kedua kelompok saling ‘mempertahankan’ Tuhan dengan kesungguhannya dalam pemahaman masing-masing.
Perkara ini beda dengan ‘sindiran’ Gus Dur yang mengatakan ‘Tuhan kok dibela-bela, Tuhan tidak memputuhkan pembelaan dari makhluknya’ .
Dimana bedanya?
Sindiran Gus Dur itu ditujukan kepada orang-orang yang hobbinya ribut/tengkar ketimbang mencari solusi, dan perseteruan di kalangan cerdik pandai (filsuf) dengan tokoh ulama (teologis) ditujukan kepada kebenaran akan fakta yang dibuktikan dengan argumen rasional.
Kita lihat apa yang dikatakan oleh para ulama (Mutakallimin) tentang alam disekeliling kita. Menurut para ulama besar tempoe doeloe bahwa segala sesuatu yang ada dialam semesta ini adalah barang baru, termasuk manusia, bumi, planet, bintang , peyek, bakwan, ikan, setan, malaikat dan lain-lain. Semua hal mulai dari yang receh sampai dengan yang terbesar seperti langit dan bumi beserta isinya adalah sesuatu yang baru…
Pendapat ini disodorkan sebagai argumen rasional dengan memberikan contoh-contoh yang paling sederhana sampai kepada contoh yang kompleks. Contoh sederhana misalnya, manusia.
Manusia adalah barang baru karena dulu sebelum bermilyar-milyar tahun yang lalu manusia tidak/belum ada. Dari tidak ada menjadi ada disebut sebagai sesuatu yang baru. Mobil adalah sesuatu yang baru, karena pada jaman romawi mobil belum ada. Adanya mobil saat ini berasal dari tidak ada sebelumnya.
Setan, Jin, Malaikat, Strum listrik, Nuklir, gelombang infra merah, Sinar X, juga adalah barang baru. Alasannya sama…duuuluuuu bertriliun-triliun tahun sebelum ada langit dan bumi ‘benda-benda’ inipun belum ada. Karena mereka ada dari sesuatu yang tadinya tidak ada, maka benda-benda tersebut adalah benda baru.
Pertanyaannya sekarang, kalau semua ‘benda-benda’ itu baru, baik yang phisik, metaphisik, prophisik dan yang imateri apakah ada gerangan yang tidak baru?
Tentu ada, menurut para ulama besar (Mutakallimin) yang bukan barang baru adalah Tuhan semata. Tuhan bukanlah barang baru karena kalau dirunut sampai kemanapun, ber milyar-milyar triliun tahun sekalipun…, Tuhan sudah ada dan tidak pernah berawal. Jadi bagi Imam Ghozali (tokoh mutakallimin) kafirlah mereka yang mengatakan bahwa ada ‘barang’ lain yang ada sejak jaman sebelum penciptaan.
Argumen kelompok ulama ini mengatakan, kalau ada sesuatu yang ‘ada’ dan tidak pernah tidak ada selain Tuhan, maka sesuatu itu pasti tidak membutuhkan pada satu penciptaan, atau penyebab keterciptaannya.
Ini tidak mungkin karena kalau demikian adanya maka ‘sesuatu’ itu sudah menyamai Tuhan. Dan Tuhan adalah keberadaan yang niscaya secara esensi. Dalam berbagai argumen pembuktian, jelas menunjukkan hasil akhir bahwa sesuatu yang keberadaannya niscaya secara esensial adalah TUNGGAL. Jadi tidak mungkin ada 2 TUNGGAL…, Tunggal dibawa kemanapun artinya tetap sama , yaitu SATU!
Argumen rasional dari kelompok ulama ini dijawab oleh para cerdik pandai (filsuf) abad pertengahan dengan mengatakan ‘ Bahwa kebutuhan akan sebab dan penciptaan tidak ada kait mengkaitnya dengan apakah ‘benda’ itu tidak pernah tidak ada, tapi lebih tergantung kepada esensi (zhat) itu sendiri. Apakah esensi keberadaannya niscaya atau mungkin. (eksistensi niscaya atau eksistensi mungkin) .
Sebagai contoh,
Sinar matahari berasal dari matahari.
Dan sinar itu tidak mungkin bisa terpisah dari matahari.
Keberadaan sinar matahari itu tergantung 100% kepada matahari.
Dan satu hal lagi, keberadaan sinar matahari adalah pemberian dari matahari.
Sinar matahari ini akan senantiasa ada, baik kita bayangkan ataupun tidak, sinar matahari ini tidak akan pernah terlepas dari matahari.
Sinar matahari ‘ada’ sejak awal keberadaan matahari.
Disini coba kita ambil satu perumpamaan, umpamanya matahari ini tidak berpermulaan, apakah kemudian sinarnya mempunyai permulaan? Tentu tidak, Adanya matahari otomatis adanya sinar matahari.
Matahari adalah matahari, dan sinar matahari adalah sinar matahari.
Begitu pula dengan keberadaan ‘sesuatu’ yang lain yang tidak pernah berpermulaan, bukan berarti ‘sesuatu’ itu sama dengan Tuhan. Bedanya perumpamaan diatas dengan Tuhan adalah di ‘KEHENDAK DAN PERBUATANNYA’. Matahari tidak mempunyai kehendak terhadap sinarnya, tapi Tuhan mengetahui apa yang diperbuatNya.
Perumpaman seperti ini jelas ditulis dikitab suci Al-quran :
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(An-Nuur : 35 )
Sekarang kita sudah melihat dua kelompok menterjemahkan isi alam semesta ini, ulama jaman dulu mengatakan semua yang ada dialam semesta ini adalah sesuatu yang baru dan berasal dari ketidak adaan, dan kelompok cerdik pandai mengatakan bukan demikian, semuanya berasal dari sesuatu yang ada.
Sebab Akibat
Hukum sebab akibat, demikian bunyi kalimat yang sering kita jumpai disekitar kita. Apakah yang dibicarakan orang-orang disekitar hukum sebab akibat ini?
Pembicaraan tentang hukum sebab akibat ini walaupun dibolak balik rumus dan teorinya tetapi dalam satu hal haruslah selalu sama yaitu suatu sebab tertentu haruslah menghasilkan akibat tertentu pula sesuai dengan ciri khusus penyebabnya. Atau bisa juga dikatakan bahwa suatu akibat tertentu haruslah bersumber dari sebab tertentu pula dan bukan berasal dari suatu sebab yang tidak ada sangkut paut dan kesesuaian sama sekali.
Dengan kata lain, Antara berbagai keberadaan (eksistensi) dialam raya ini, terdapat hubungan satu sama (hubungan korespondensi). Dengan begitu maka ‘setiap sesuatu’ tidak mungkin memunculkan ‘apa saja!’ , dan juga ‘setiap sesuatu ’ tidak mungkin BERASAL DARI ‘apa saja’ , Sesuatu itu haruslah muncul dari sesuatu yang mempunyai hubungan korespondensi.
Kita lihat…
Belajar adalah ‘suatu’ SEBAB untuk menjadi pandai..
Minum adalah SEBAB bagi hilangnya rasa haus…
Makan adalah SEBAB bagi hilangnya rasa lapar…
Contoh diatas adalah contoh hubungan korespondensi antara suatu sebab dengan akibat yang dihasilkannya, dan untuk mengetahui akibat-akibat tersebut kita harus terlebih dahulu meneliti sebab-sebab khususnya.
Kita harus teliti, apakah makan bisa menyebabkan pintar?
Kita harus teliti, apakah minum bisa menyebabkan bodoh?
Kita harus teliti, apakah belajar bisa menyebabkan kenyang?
Tentu saja kita tidak pernah mendengar dan beranggapan demikian karena kita tidak pernah melihat hubungan antara sebab dan akibat yang serupa itu akan menghasilkan suatu korespondensi khusus.
Dengan contoh sederhana tersebut, kita bisa melihat bahwa dalam perkara memetakan hubungan korespondesi itu, kita dituntut harus menggunakan aturan berpikir yang benar sebagai tumpuan untuk meneliti sebab-sebab khusus dari suatu perkara, sehingga dibenak kita tidak akan terjadi kekeliruan atau kekacauan berpikir seperti beranggapan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini terdiri dari sekumpulan kejadian yang tidak teratur dan terjadi ‘semaunya’ tanpa ada hubungan satu sama lain secara korenpondensi.
Alam ini memiliki suatu sistem yang tersusun rapi yang masing-masing partikualarianya mempunyai hubungan kekhususan satu sama lain. Tidak ada satu partikulariapun yang menempati partikularia yang lain yang tidak mempunyai hubungan khusus.
Sekarang kita bertanya, apa sih yang dimaksud dengan sebab-sebab khusus itu? Menjawab pertanyaan semacam ini sebenarnya tidak bisa langsung spontan dengan mengemukakan definisi dan ciri kekhususan dari aneka sebab-sebab itu. Hal ini karena ditemukan fakta bahwa terdapat berbagai jawaban yang ‘menantang’ dalam ilmu pengetahuan modern. Misalnya, ilmu fisika, kimia, sosial, demokrasi, budaya dan lain-lain itu akan menjawab kekhususan suatu hubungan itu dengan pendekatan ‘terdekat’ dari bidang kajian masing-masing. Namun demikian apakah kita kemudian tidak mempunyai patokan atau acuan apapun dalam perkara meneliti sebab khusus itu?
Tentu saja kita punya, dan sebagai acuan terbanyak para ilmuwan masih mengacu kepada ‘ilmu lama’ dari Aristoteles yang membuat acuan dasar dalam meneliti kekhususan sebab, yakni :
1. SEBAB EFEKTIF
2. SEBAB FINAL
3. SEBAB MATERIAL
4. SEBAB FORMAL
Sekarang kita akan lihat tentang acuan yang dipakai oleh para ilmuwan sekarang ini berdasarkan ‘ilmu lama’ yang ditulis oleh Aristoteles tersebut. Aristoteles jauh-jauh hari memang sudah mengatakan walaupun dalam perkembangannya nanti akan ditemukan aneka ‘pengetahuan baru’ maka pengetahuan baru tersebut pada dasarnya pastilah memiliki keempat sebab kekhususan tersebut.
Kita lihat…
Misalnya kita akan membangun sebuah rumah, kita bisa teliti satu persatu sebab-sebab khusus bagi terciptanya sebuah rumah .
Kita mulai dari Tukang Bangunan , Tukang bangunan bagi terciptanya suatu rumah adalah SEBAB EFEKTIF, Dengan adanya tukang bangunan maka menciptakan suatu rumah akan menjadi mungkin dan efektif.
Kemudian yang kedua , Keinginan kita untuk tinggal dirumah tersebut, Keinginan dan kemampuan kita untuk membeli bahan material, tanah dan alat-alat yang terkait dengan bangunan rumah tersebut disebut sebagai SEBAB FINAL.
Yang ketiga adalah SEBAB MATERIAL, bahan bangunan, semen, pasir, batu, besi , keramik, genteng, air dan lain-lain adalah SEBAB Material yang memungkinkan Tukang Bangunan untuk menciptakan rumah.
Dan yang terakhir adalah SEBAB FORMAL, yaitu bagaimana kita harus membuat rumah yang baik, disain yang benar, izin bangunan yang legal dan lain-lain sebagainya sebagai syarat khusus untuk terbentuk rumah yang ideal dan sekaligus legal J
Perumpamaan membangun rumah tersebut, apakah demikian juga urutan sebab-sebab khususnya bagi seseorang yang menelaah science, agama, dan ilmu-ilmu sosial lainnya? Apa kata orang -orang fisika misalnya?
Bagi fisikawan, tidak ada yang lain kecuali urusannya gerak menggerak J , bagi fisikawan yang disebut dengan sebab khusus adalah PENGGERAK dan yang disebut dengan akibat khusus adalah yang BERGERAK.
Untuk contoh diatas, Tukang Bangunan bagi fisikawan adalah SEBAB, karena Tukang Bangunanlah yang membongkar dan memasang aneka bahan bangunan di posisi-posisi yang tepat untuk terciptanya sebuah bangunan.
Dan jangan kaget kalau nanti diprotes oleh ahli teologi yang mengatakan bahwa Tukang Bangunan tidaklah pantas disebut sebagai SEBAB karena mereka itu tidak lebih hanya menyusun barang-barang material yang sudah ada betebaran dimana-mana.
Begitu juga kalau kita ambil contoh yang lain, misalnya hubungan ayah dan ibu yang menghasilkan anak. Bagi fisikawan hal semacam ini adalah hal yang jelas dan terang benderang, bahwa mak dan bapak itu adalah SEBAB khusus akan terciptanya anak. Dan protes yang serupa juga datang dari ahli teologis, bahwa mak dan bapak si anak itu tidaklah pantas dikatakan sebagai SEBAB, karena kapasitas mereka berdua itu tidaklah lebih dari sekedar fasilitator saja J
Nah lho, baru sedikit kita melihat kedalam tentang apa yang dibicarakan diseputar sebab akibat ini sudah kita temukan ‘obrolan yang hangat’ antara 2 kubu J , ini yang bicara baru 2 kubu lho, bagaimana kalau 200 kubu?
Dan khabar baiknya adalah, walaupun yang bicara 200 kubu atau lebih, satuhal yang sudah disepakati oleh hampir semua kubu adalah bahwa alam semesta ini tidak tersusun secara acak-acakan, tidak tersusun secara kacau balau, melainkan tersusun dan tertata rapi melebihi rapinya susunan gigiku dan gigimu J
betapa ‘ada eksternal’ (Eksistensi eksternal) ini telah merubah peradaban anak manusia, dan faktanya memang sebagian besar dari ‘ada eksternal’ ini memang betul-betul BENAR dan NYATA.
Kita perhatikan…Bahwa dengan bantuan pancaindra dan alat perasa kita mampu membedakan panas dan dingin, api dan es, siang dan malam, panjang dan pendek, tinggi dan rendah, jauh dan dekat, besar dan kecil, bohong dan jujur, koruptor dan orang jujur, sapi dan dendeng. Sungguh fakta itu adalah kebenaran dan sama sekali tidak keliru. Maka sangat aneh kalau orang seperti Berkeley (filsup yang sekaligus uskup terkenal) mengatakan tidak ada realitas eksternal?
Itu sekilas tentang eksistensi eksternal, sekarang kita ke ‘benda’ yang berikutnya, kita bisa ‘membayangkan’ ada monas dijakarta, ada kota london di inggris, ada rendang diwarung padang, ada laut di di Timur tengah , ada pulau ditengah laut, ada cewek cantik dikampus. Pertanyaan yang sama, apakah betul yang kita bayangkan tadi ‘barangnya’ betul-betul ada didunia nyata?
Jawabnya, bisa ya bisa juga tidak, bisa ada bisa juga tidak. Membayangkan tentang adanya sesuatu ini disebut dengan ’ada mental’, yaitu ‘adanya’ didalam pikiran kita (‘dikepala’ kita)
Kenapa ‘ada mental’ (eksistensi mental) ini mendapat jawaban tidap pasti? Bisa iya bisa tidak, bisa ada bisa tidak? Ini menarik…, yuk kita lihat ilustrasinya.
Misal, saya membayangkan ada monas dijakarta…, apakah ‘bayangan’ saya itu betul-betul ‘benar’ (kebenaran) atau salah (kekeliruan)? Setelah saya lihat dengan mata kepala saya sendiri memang betul ‘ada’ monas dijakarta, maka apa yang saya ‘bayangkan’ tadi adalah suatu kebenaran (Fakta monas betul-betul ada).
Fakta yang saya temukan dilapangan ini adalah merupakan ‘pengetahuan dan sumber pengetahuan’ bagi mental saya.
Dan bagaimana kalau sebaliknya? misalnya monas yang saya ‘bayangkan’ tadi sudah hanyut dan hilang dibawa Tsunami? Tentu saja ‘bayangan’ saya tentang ‘ada’ monas dijakarta tadi menjadi suatu kekeliruan (Fakta monas sudah tidak ada).
Fakta ‘lain’ yang saya temukan dilapangan ini juga merupakan ‘pengetahuan dan sumber pengetahuan’ bagi mental saya. Dalam dua skenario diatas, kita sekarang bisa memahami kenapa eksistensi mental tidak langsung otomatis bisa menjawab ada atau tidak ada.
Sekarang kita telah mengetahui perbedaan tentang keberadaan alam objektif, yaitu alam materi yang bisa disaksikan secara gamblang dan alam mental yang harus dengan sedikit mikir J
Kemarin disuatu milist yahoogroups ada yang tanya kepada saya, kenapa yang ada dipikiran disebut sebagai eksistensi mental (ada mental)? Apakah setiap perkara ‘ada’ (esksistensi) dinamai sesuai dengan keberadaan-nya? Misalnya, ada lukisan gambar Nyi Loro Kidul, Lukisan Kuda Terbang, Lukisan Bidadari, Lukisan gambar Yesus. Apakah ‘ada’ seperti itu disebut dengan ‘Eksistensi Lukisan ‘atau ‘Eksistensi Dinding’ (karena digantung didinding,red).
Tentu saja perkara seperti itu tidak bisa dinamai dengan ‘eksistensi lukisan’ ataupun ‘eksistensi dinding’ . Ada substansi yang sangat penting yang ketinggalan disitu, Bagi dinding lukisan gambar yang dilukis atau digantungkan disana tidaklah menjadi bagian dari dinding itu, bagi dinding lukisan itu bukanlah PENGETAHUAN DAN SUMBER PENGETAHUAN dinding tentang eksistensi gambar (keberadaan gambar itu dalam alam nyata). Sedangkan lukisan yang ada dialam mental merupakan pengetahuan dan sumber pengetahuan bagi orang yang membayangkannya.
FILSAFAT ILUIMINASI DAN PERIPATETIK
Kajian tentang filsafat pada dasarnya selalu ‘berputar’ disekitar kesejatian eksistensi (keberadaan) dan atau kesejatian esensi (keapaan) . Dari kedua ‘kesejatian’ ini yang manakah yang lebih utama?
Didalam literatur kuno, kita bisa menemui setidaknya ada dua kelompok besar sebagai peletak dasar kajian-kajian filafat tinggi, dan masing-masing kelompok dikenal dengan kelompok metode iluminasi dan peripatetik.
Metode iluminasi mempercayai bahwa dalam mengkaji filsafat tinggi (Ilahiah) atau ketuhanan, tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan argumentasi (istidlal) dan penalaran (ta’aqqul) saja, tetapi lebih dari itu yaitu diperlukannya penyucian jiwa serta perjuangan melawan hawa nafsu untuk menyingkap berbagai hakikat.
Metode Iluminasi ini mendapat dukungan dari banyak pihak terutama kalangan filsuf Islam, penganut paham ini dinamakan dengan kelompok paham iluminasionis dengan tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Syekh Syihabuddin Syuhrawardi.
Berbeda dengan kelompok iluminasionis, kelompok metode peripatetik yang diilhami oleh Aristoteles mempercayai bahwa argumentasi adalah tempat bertumpunya segala persoalan. Kelompok ini terkenal dengan tokohnya yang bernama Syekh Ar Ra’is Ibnu Sina.
Plato terkadang juga dikaitkan dengan kelompok iluminasionis, namun demikian bagaimana kebenarannya masih perlu dikaji lebih dalam lagi berhubung penulis sejarah filsafat yang terkenal seperti Syahristani sekalipun tidak pernah menyebut Plato sebagai penganut paham ini. Kecuali dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Syuhrawardi dalam bukunya ‘Hikmah al Isyraq’ bahwa Phytagoras dan Plato adalah termasuk dari beberapa cendikiawan kuno yang menganut aliran iluminatif.
Terlepas dari apakah Plato termasuk orang yang menganut paham iluminasionis ataupun bukan, namun kita perlu mengingat kembali landasan filsafat plato yang terkenal tentang hakikat (filsafat tinggi). Plato meletakkan pandangannya kepada tiga pilar utama yaitu :
1. Teori Ide.
Menurut teori ini apa-apa yang disaksikan manusia didunia ini, baik substansi ataupun aksiden, pada hakikatnya semua itu sudah ada didunia lain. Yang kita saksikan didunia ini
semunya hanya semacam cermin atau bayangan dari dunia lain.
2. Teori tentang roh manusia.
Plato meyakini bahwa sebelum jasad manusia tercipta (manusia terlahir) , maka rohnya telah berada didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna, yaitu dunia ide. Setelah jasad tercipta maka roh menempatinya dan sekaligus terikat dengannya.
3. Plato menyimpulkan bahwa ilmu itu adalah mengingat kembali (remind) dan BUKAN mempelajari, yakni apa saja yang kita pelajari didunia ini pada hakikatnya adalah pengingatan kembali terhadap apa-apa yang sudah pernah kita ketahui sebelumnya. Logikanya adalah karena sebelum roh bergabung dengan jasad, roh tersebut SUDAH ADA didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna dan telah menyaksikan dunia tersebut, dan dikarenakan hakikat dari segala sesuatu itu adalah di ‘ide’ nya maka seyogyanya ide ini telah mengetahui berbagai hakikat. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang ada setelah roh terikat dengan jasad tidak lain adalah sesuatu yang tadinya kita sudah tahu dan sekarang sudah terlupakan.
Plato menjelaskan kemudian bahwa karena roh sudah terikat didalam jasad, maka roh tidak bisa lagi mendapatkan cahaya sebagaimana yang tadinya dia dapatkan. Hal ini persis seperti tirai yang menghalangi cermin sehingga cermin tidak bisa menerima pancaran cahaya karena terhalang oleh tirai tersebut.
Dan ini hanya bisa disingkap dengan proses dialektika, atau metode iluminasi (penyucian jiwa , penahanan hawa nafsu dll) sehingga pancaran cahaya dapat masuk lagi kedalam cermin dan dan sekaligus bisa lagi merefleksikan gambaran dari dunia lain tadi.
Pandangan ini di tolak keras oleh Aristoteles, menurut Aristoteles perkara ‘ide’ itu adalah urusan mental (zhihn) , jadi tidak ada itu yang namanya universalia ‘ide’ .
Kedua, masalah roh…, Aristoteles percaya bahwa roh itu diciptakan seiring atau hampir bersamaan dengan penciptaan jasad. Dan jasad bukan merupakan tirai pengahalang sama sekali bagi roh, bahkan dengan ‘bantuan’ jasadlah roh baru bisa mendapatkan semua informasi dan ilmu baru. Pengetahuan dan informasi yang didapatkan roh adalah melalui perantara jasad berupa panca indra dan instrumen jasad lainnya. Dan lanjut Aristoteles lagi, bahwa roh itu tidak pernah berada didunia lain sehingga roh itu sudah built up dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Manusia Suci
Apakah agama itu? Agama adalah ideologi yang bersumber dari Tuhan? Apakah ideologi itu? Ideologi adalah serangkaian pengetahuan yang telah menjadi pedoman hidup? Apakah pengetahuan itu? Pengetahuan adalah kesadaran tentang eksistensi sesuatu? Apakah kesadaran itu? Kesadaran adalah agama!Serangkaian tanya jawab di atas belum dijadikan bahan renungan bagi manusia pada umumnya sebagai makhluk yang berakal. Padahal kesadaran bahwa manusia sebagai makhluk yang berakal pasti akan menggunakan akalnya untuk mengambil apa-apa yang bermanfaat untuknya dan menghindari apa-apa yang akan merugikan dan mencelakakannya. Dalam mengambil keputusan tentang pilihan-pilihannya tersebut tentunya diperlukan adanya kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dan larangan-larangan yang harus dihindari, sehingga apa yang menjadi pilihannya benar-benar merupakan kesadaran atas kehendaknya sendiri bukan atas dasar keterpaksaan. Inilah agama, tidak ada paksaan dalam beragama, karena agama adalah sebuah keyakinan dari sederetan pengetahuan yang membentuk kesadaran yang tak terelakkan.Biarpun pada dasarnya manusia sadar ataupun tidak sadar selalu mengikuti—memiliki—suatu ideologi. Seperti Nitzsche misalnya dengan konsep “manusia unggul” yaitu manusia yang kuat dan mampu mengatasi segala sesuatu, bukan manusia yang ‘cengeng’ dan menyerahkan ketidakberdayaannya kepada Tuhan. Juga konsep tentang “absurditas—kesia-siaan hidup”—seperti Albert Camus, bahwa dunia ini adalah absurd, tidak ada nilai, tidak ada masa depan, dunia ini irasional tidak mampu menerangkan persoalan-persoalan hidup. Inilah ideologi dari sebagian para antiteis. Demikian pula para teis yang meyakini bahwa agama merupakan sumber ideologi yang diberikan Tuhan pencipta alam semesta beserta isinya. Tuhan telah memberikan agama sebagai ideologi—pedoman hidup—untuk manusia melalui para utusanNya.Namun pada kenyataannya dalam kehidupan ini terdapat banyak ‘agama’, dan setiap ‘agama’ pun mempunyai beragam sekte (aliran), dimana setiap aliran mempunyai ideologinya masing-masing. Dalam persoalan seperti ini yang menjadi pertanyaan adalah apakah Tuhan memberikan banyak agama atau satu agama? Kalau hanya satu, bagaimana membedakan antara ‘agama’ yang benar (asli) dan yang salah (palsu), mana aliran yang lurus dan mana aliran yang sesat?
Keyakinan bahwa pada hakekatnya semua agama itu berbeda, hal ini didasarkan bahwa manusia pada suatu masa dan pada suatu tempat, berlainan dengan manusia pada suatu masa dan pada suatu tempat yang lain. Manusia pada zaman Adam berbeda dengan manusia pada zaman Ibrahim, manusia di Barat berbeda dengan manusia di Timur. Sehingga agama pada masa Adam tidak bisa diterapkan di masa Ibrahim, agama yang berlaku di Barat tidak bisa diberlakukan di Timur, agama untuk orang Israel tidak cocok untuk orang Persia, manusia zaman modern tidak bisa mengambil pelajaran sejarah dari manusia sebelum masehi, manusia di Barat tidak bisa berperilaku seperti manusia di Timur, orang Israel tidak bisa diperlakukan seperti orang Persia, karena memang pada dasarnya semuanya berbeda. Sehingga agama diturunkan sesuai dengan keadaan dan tempat yang cocok untuk manusia tersebut.
Sedangkan keyakinan bahwa hanya satu agama yang benar, hal ini didasarkan bahwa pada hakekatnya manusia itu adalah sama, oleh karena itu tidak ada keterbatasan waktu dan tempat, agama berlaku universal. Karena agama berlaku universal, maka agama dimasa lampu sampai akhir zaman harus dapat diterima oleh manusia kapan saja dan dimana saja, karena bersumber dari Tuhan Yang Satu yaitu Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Terjadinya bermacam agama dan berbagai aliran ini disebabkan oleh adanya nafsu—kedengkian—kesombongan—kebodohan—manusia. Dengan berbagai kepentingan baik politik, ekonomi, sosial dan budaya, manusia memanfaatkan agama yang telah menjadi institusi yang mapan untuk memenuhi keinginan nafsunya. Dengan demikian orang-orang awam yang bodoh yang melihat agama hanya sebatas identitas dan institusi bukan melihatnya sebagai ideologi akan mengikuti para elit yang telah dipenuhi oleh nafsu setan. Agama para elit, agama para agresor dan agama para penindas, agama yang memaksa, agama yang eksklusif akan memanfaatkan para awam yang bodoh sebagai penyokong agama mereka, sehingga sebagian besar terkelabui. Hanya sedikit manusia yang menyadarinya.
Hanya orang yang tercerahkan dan orang suci yang mampu membedakan mana agama (ideologi—aliran) yang telah dimanfaatkan oleh nafsu-nafsu manusia dan mana agama yang suci. Manusia seperti ini sanggup menerima dan mengakui agama yang disampaikan Tuhan melalui utusanNya baik dimasa lalu, sekarang maupun yang akan datang, manusia seperti ini setiap ‘ditinggalkan’ oleh seorang utusan akan selalu mengikuti wasiatnya dan pada saat munculnya utusan yang menggantikannya akan selalu menerimanya. Sekali lagi manusia seperti ini adalah manusia suci yang tercerahkan oleh nur Tuhannya. Bukan manusia yang ada motif-motif, pretensi-pretensi tertentu sekecil apapun selain hanya semata-mata karena kebenaran dan keadilan Tuhan Yang Suci, tidak dapat menjadi kekasihNya selain kesucian.
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home