Dunia Hanya Sebatas Utopia
Oleh : A_dHie Cre@tiVe,,, [1]
“Konflik” menjadi sesuatu yang real dalam dinamika kehidupan manusia, kaum tertindas dan yang menindas, kaum borjuis dan ploretan menjadi pelaku kongkit sejarah manusia. Pernyataan ini sama halnya dengan politikus kawakan dari RRC yaitu Mao Zedong yang menganggap dinamika kehidupan muncul atas dasar “Konflik”. Kaum materialis memandang dunia akan selalu kekal sedang kematian hanyalah akhir dari kehidupan sosok manusia, mereka memandang segala sesuatu bersifat materi, sehingga yang ada dalam maindset mereka hanyalah “Materi & Materi”. Padahal, Kematian tidaklah selalu bermakna ketiadaan (nothingness). Kematian bisa saja diartikan dengan kelahiran baru (new born). Seperti statement yang sering digulirkan oleh sufistik-sufistik ulung tempo dulu, yang memandang kematian adalah awal dari hakekat kehidupan manusia. Mengartikan makna kematian sebagai sebuah ketiadaan adalah kekeliruan.[2]
Realitas hari ini, kita sering terjebak dalam utopis kehidupan manusia seolah kita memenjarakan diri kita tanpa sadar, sedang arus Penjajahan “Global Village” terus menerjang dari berbagai aspek kehidupan manusia, dan mencoba membawa kita pada keterasingan, Penulis mengutip sebuah konsep Teologi Islam Pembebasan dari ALI SYARIATI tentang “Keterasingan Manusia " Merusak keyakinanmu, kemanusiaan, pengetahuan, kecintaan, kemenangan, perjuangan, warisan sejarah. Ia merupakan sistem perasaan pandangan sesuatu yang engkau miliki way of life, cara berfikir, alat yang berguna, cara berproduksi, cara konsumsi, kulturalisme, kolonialialisme, indoktrinasi, religius, eksploitasi, hubungan social atau propaganda. Neo kolonialisme, birokrasi, teknokrasi atau otomatisasi. Mungkin juga eksbisionisme , nasionalisme dan rasisme sedang pada waktu tertentu fasisme nazi borjuisme dan militerisme.
Tak bisa dipungkiri, kita sering terejebak dalam hal-hal Kecintaan kepada kenikmatan (epiqurisme), kepada ide-ide (idealisme), kepada materi (materialisme), kepada seni dan keindahan (romantisme), kepada tak sesuatupun juga (eksistensialisme-fatalis) kepada tanah dan darah (rasisme), kepada para pahlawan dan pemerintahan pusat (fasisme) , kepada perasaan (genotisme), kepada sejarah (fatalis), kepada semua orang (sosialisme) kepada ekonomi (komunisme dan liberalisme) kepada kebijaksanaan (filsafat), kepada sorga (spiritual) kepada eksistensi (realisme) kepada kehendak tuhan (determinasi) kepada seks (freudianisme) kepada instink-instink (biologisme), kepada akhirat (agama), tahyul idealisme, ketamakan ekonomisme…………..semuanya berhala-berhala polytheisme masa modern menggantikan Tuhan.
Bila kita analisis, hari ini mungkin Penguasa jahat dan pembunuh yang professional dari kolonialisme lama sudah tidak ada lagi didunia ketiga, akan tetapi sistem–sistem ekonomi, rezim-rezim politik, hubungan social, sistem pendidikan, kesenian dan moral, kebebasan seks, ideologi-ideologi, media propaganda, literature, mode, kesintingan cultural mempengaruhi struktur ekonomi, sistem social, kepercayaan, sifat, jiwa, moral, nilai-nilai manusia.
Ternyata untuk mencapai Mardhotillah terdapat banyak hiruk piruk perjalanan hidup yang penuh dengan teka-teki dalam mencapai kehidupan yang hakiki di akherat. Pantas saja ketika seorang sufistik sekaliber Al-Hallaj, Jalaludin Rumi atau mungkin Syeikh Siti Jenar yang lebih memilih kematian sebagai awal dari kehidupan yang hakiki.
Wallahu A’lam Bisshawab,,,
[1] Penulis adalah seorang yang masih mencari akan hakekat kebenaran dan kehidupan manusia
[2] Makna kematian : 1) meninggalkan kondisi sebelumnya, 2) historical revearsal (titik balik sejarah), 3) melampaui titik batas untuk menuju titik ekstrim, 4) diskontinuitas/keterputusan sejarah, 5) peleburan, persilangan, pencampuran dan lenyapnya batas-batas, 6) tidak ada lagi entitas atau objek.
“Konflik” menjadi sesuatu yang real dalam dinamika kehidupan manusia, kaum tertindas dan yang menindas, kaum borjuis dan ploretan menjadi pelaku kongkit sejarah manusia. Pernyataan ini sama halnya dengan politikus kawakan dari RRC yaitu Mao Zedong yang menganggap dinamika kehidupan muncul atas dasar “Konflik”. Kaum materialis memandang dunia akan selalu kekal sedang kematian hanyalah akhir dari kehidupan sosok manusia, mereka memandang segala sesuatu bersifat materi, sehingga yang ada dalam maindset mereka hanyalah “Materi & Materi”. Padahal, Kematian tidaklah selalu bermakna ketiadaan (nothingness). Kematian bisa saja diartikan dengan kelahiran baru (new born). Seperti statement yang sering digulirkan oleh sufistik-sufistik ulung tempo dulu, yang memandang kematian adalah awal dari hakekat kehidupan manusia. Mengartikan makna kematian sebagai sebuah ketiadaan adalah kekeliruan.[2]
Realitas hari ini, kita sering terjebak dalam utopis kehidupan manusia seolah kita memenjarakan diri kita tanpa sadar, sedang arus Penjajahan “Global Village” terus menerjang dari berbagai aspek kehidupan manusia, dan mencoba membawa kita pada keterasingan, Penulis mengutip sebuah konsep Teologi Islam Pembebasan dari ALI SYARIATI tentang “Keterasingan Manusia " Merusak keyakinanmu, kemanusiaan, pengetahuan, kecintaan, kemenangan, perjuangan, warisan sejarah. Ia merupakan sistem perasaan pandangan sesuatu yang engkau miliki way of life, cara berfikir, alat yang berguna, cara berproduksi, cara konsumsi, kulturalisme, kolonialialisme, indoktrinasi, religius, eksploitasi, hubungan social atau propaganda. Neo kolonialisme, birokrasi, teknokrasi atau otomatisasi. Mungkin juga eksbisionisme , nasionalisme dan rasisme sedang pada waktu tertentu fasisme nazi borjuisme dan militerisme.
Tak bisa dipungkiri, kita sering terejebak dalam hal-hal Kecintaan kepada kenikmatan (epiqurisme), kepada ide-ide (idealisme), kepada materi (materialisme), kepada seni dan keindahan (romantisme), kepada tak sesuatupun juga (eksistensialisme-fatalis) kepada tanah dan darah (rasisme), kepada para pahlawan dan pemerintahan pusat (fasisme) , kepada perasaan (genotisme), kepada sejarah (fatalis), kepada semua orang (sosialisme) kepada ekonomi (komunisme dan liberalisme) kepada kebijaksanaan (filsafat), kepada sorga (spiritual) kepada eksistensi (realisme) kepada kehendak tuhan (determinasi) kepada seks (freudianisme) kepada instink-instink (biologisme), kepada akhirat (agama), tahyul idealisme, ketamakan ekonomisme…………..semuanya berhala-berhala polytheisme masa modern menggantikan Tuhan.
Bila kita analisis, hari ini mungkin Penguasa jahat dan pembunuh yang professional dari kolonialisme lama sudah tidak ada lagi didunia ketiga, akan tetapi sistem–sistem ekonomi, rezim-rezim politik, hubungan social, sistem pendidikan, kesenian dan moral, kebebasan seks, ideologi-ideologi, media propaganda, literature, mode, kesintingan cultural mempengaruhi struktur ekonomi, sistem social, kepercayaan, sifat, jiwa, moral, nilai-nilai manusia.
Ternyata untuk mencapai Mardhotillah terdapat banyak hiruk piruk perjalanan hidup yang penuh dengan teka-teki dalam mencapai kehidupan yang hakiki di akherat. Pantas saja ketika seorang sufistik sekaliber Al-Hallaj, Jalaludin Rumi atau mungkin Syeikh Siti Jenar yang lebih memilih kematian sebagai awal dari kehidupan yang hakiki.
Wallahu A’lam Bisshawab,,,
[1] Penulis adalah seorang yang masih mencari akan hakekat kebenaran dan kehidupan manusia
[2] Makna kematian : 1) meninggalkan kondisi sebelumnya, 2) historical revearsal (titik balik sejarah), 3) melampaui titik batas untuk menuju titik ekstrim, 4) diskontinuitas/keterputusan sejarah, 5) peleburan, persilangan, pencampuran dan lenyapnya batas-batas, 6) tidak ada lagi entitas atau objek.
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home