More Goodies @ NackVision M@jeli$ sOCrates: Romantisasi Vs Romantisme Masa Keemasan Islam <body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7640796665781499127\x26blogName\x3dM@jeli$+sOCrates\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://majelissocrates.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://majelissocrates.blogspot.com/\x26vt\x3d-8202504170161411585', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Rabu, 18 Juni 2008

Romantisasi Vs Romantisme Masa Keemasan Islam

Oleh : A_dHie cReactive

Puluhan abad yang lalu, Islam mencapai titik klimaks kejayaannya sebagai pionir peradaban dunia, terbukti dengan kuantitas & kualitas para pemikir dan intelektual ulung yang berkarya dan menciptakan suatu inovasi, namun itu semua sekedar catatan sejarah manis kejayaan islam, yang semestinya dijadikan suatu ibrah bagi kita. Laju sejarah menghantarkan islam dalam kondisi keterpurukan, terutama secara psikologis dengan Truth Claim dari dunia barat yang ditujukan terhadap islam dalam hal terorisme internasional1, sebetulnya pelaku hanyalah sebagian kelompok kecil yang berfikir radikal dan bersikap ekstreem, yang berimbas terhadap harga diri islam, dan perlu kita garis bawahi bahwa dalam dunia islam menurut hadits yang diriwayatkan Imam Turmudzi, Abu Daud dan Ibnu Majjah dalam kitab-kitab haditsnya bahwa umat Islam akan terbagai menjadi 73 golongan dan yang akan selamat hanya satu golongan yaitu Ahlu Sunnah Wal Jam’ah2, dengan kondisi umat Islam yang plural ini menyebab mind of thinking yang berbeda diantara pengikutnya (antara intertekstualitas dan intersubjektivitas), paradigma berfikir seperti ini terkadang memunculkan suatu perpecahan antar umat islam, yang mengklaim bahwa golonganyalah yang terbaik dan merupakan Ahlu Sunnah wal-jama’ah 3,sehingga kadang memunculkan sikap bahwa orang islam yang diluar dari golongannya adalah kafir, padahal sikap seperti ini dilarang keras oleh nabi Muhammad SAW. Rasulullah bersabda :
“ Sesungguhnya agama itu mudah, tidaklah sesorang berlebih-lebihan dalam menjalankan agama kecuali ia akan keberatan sendiri. Tepatlah kebenaran atau yang mendekatinya, berilah kabar gembira, dan pergunakanlah waktu pagi, sore dan malam hari untuk memudahkan perjalananmu “4.
seharusnya, kita mengggap perbedaan ini adalah suatu anugerah, karena dengan perbedaan ini akan memunculkan suatu keindahan dalam islam dan akan berimbas agama islam menjadi unggul dengan sejuta pemikiran dan konsep sehingga berani bersaing menghadapi peradaban dunia di era globalisasi.
Konsep Normativitas Islam merupakan konsep pemikiran yang bersifat tekstual, apa yang tercantum dalam sebuah teks itu diartikan sebagai sesuatu yang bersifat tetap tanpa menelaah secara mendalam apa yang menjadi tujuan (dunia teks ), dan pemikiran seperti ini identik dengan sikap “Romatisme Sejarah Islam”sedangkan konsep pemikiran Historisitas Islam berbicara pada ruang lingkup Islam yang menyejarah dan memiliki haluan kontekstual serta menjunjung tinggi wilayah substansi atas segala hal yang menjadi peraturan, serta identik dengan sikap “Romantisasi Islam”.
Pergolakan ini semakin kental dan mulai berkarat, Menurut Ziauddin Sardar dalam bukunya “Merombak pola fikir intelektual muslim” mengatakan bahwa konflik semacam ini menghambat peradaban islam, sedangkan Peradaban islam sangat membutuhkan kaum intelektual sejati, jika tidak, kaum muslim hanya akan berputar-putar pada komunitas tanah tandus yang vakum intelektual, dan keadaan umat yang sudah marginal akan semakin tersisih, disini dibutuhkan kaum intelktual yang mampu menyeimbangkan antara islam yang normatif (niliai-nilai keislaman/tekstual) dengan historisitas (islam yang menyejarah/kontekstual) ,artinya seorang muslim mampu bersaing dengan rintangan yang mungkin muncul di era hegemoni global ini.[5]
Suatu masyarakat yang tidak memiliki kaum intelektual tidak akan mampu bekerja efektif, bahkan tidak akan mampu untuk mendeskripsikan suatu permasalahan yang sedang dihadapinya[6].
Menurut Sayyid Naquib Al-Attas bahwa imanensi kaum intlektual merupakan kontribusi rill dalam pembangunan peradaban suatu masyarakat ataupun negara. Artinya peranan kaum intelektual mempunyai tanggung jawab yang tidak kalah pentingnya dengan para penguasa formal dalam upaya membangun masyarakat yang beradab. Dalam proses pencerahan kaum intelektual akan mampu membawa masyarakat pada ideologi agama yang benar.
Menurut Al-Kindi, bahwa berpijak pada kebenaranlah persaudaraan universal dapat terwujud.[7] Dalam kondisi masyarakat yang plural, dibutuhkan persepsi bahwa kebenaran tidak bisa diklaim oleh komunitas agama tertentu, kebenaran hanya milik Allah SWT yang dalam praktik nyata sehari-hari ia akan mengambil bentuk sejalan dengan hukum-hukum objektif yang menguasai kehidupan manusia secara universal.
Sebuah penemuan ilmiah pada dirinya sendiri sebenarnya hanya mengabdi pada tata nilai kemanusiaan yang universal, dan tidak hanya dimaksudkan untuk mengabdi kepada segelintir manusia yang berniat memusnahkan manusia lain nya. Jika sejahat itu tujuan pencapaian peradaban modern diprioritaskan seharusnya manusia meninggalkanya sejak lama, dan perlu dicatat bahwa ilmu pengetahuan modern itu bebas nilai, manusialah yang membuat ilmu itu menjadi maslahat atau madharat.
Islam adalah salah satu agama besar yang telah melahirkan peradaban dunia yang menonjol hingga masa modern ini, dan tidak hanya dijazirah arab saja akan tetapi sudah menyebar di segala penjuru dunia, dan perwujudannya masih tetap dipelihara dan diperjuangkan menjadi identitas kolektif yang dominan.[8]
Peradaban modern yang kita cintai sekaligus kita kecam ini, pada mulanya memuat berbagai fragmentasi kebutuhan manusia akan hadirnya sebuah masyarakat yang berkeadaban, masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan secara universal, tanpa membedakan asal-usul (etnis) ataupun perbedaan agama seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dulu, masyarakat yang seperti inilah yang disebut Masyarakat Madani (Civil Society),masyarakat yang mencintai prinsip-prinsip musyawarah(Demokratisasi), Keadilan (Egaliterianisme), dan keterbukaan (Inklusifisme) menurut khazanah pemikiran Islam.[9]
Masyarakat madani identik dengan yang namanya akhlaq, sebenarnya akhlaq merupakan pancaran dalam yang bersifat fitrah.[10]pancaran fitrah ini yang menjadikan manusia mampu membedakan antara baik dan buruk.atau dengan kata lain sebagai ruh ketuhanan yang sering di gembor-gemborkan oleh para filsuf, kejernihan hati seorang muslim menghadapi problematika ini sangat di perlukan, tentunya dengan segala potensi yang telah Allah karunikan kepada kita ,karena hati adalah aset berharga.[11] Untuk mengembalikan harga diri umat islam dan islam menjadi sebuah solusi dalam peradaban, di era globalisai ini dibutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai integritas moral, dan mempunyai sifat yang merakyat (polpulasi), yang egaliter disamping kemampuan dan kemauannya.[12] Serta perlu ditopang dengan sikap ukhuwwah islamiyah agar terwujudnya masyarakat madani yang selalu menjadi dambaan umat islam, dan perbedaan konsep memahami islam tidak perlu dijadikan hijab untuk selalu bersatu.dan perseteruan yang kadang terjadi selama ini dijadikan sebuah ibrah untuk kedepan, dan semoga konsep islam kaffah menjadi salah atu tujuan kita dengan menanamkan kesadaran iman,orientasi hidup, penajaman ruhani agar terlahir kembali karakter seorang mukmin.[13] Dan menjadikan islam sebagai solusi segala problematika peradaban tanpa romantisme sejarah akan tetapi romantisasi sejarah islam.
Wallahu A’lam bishowab.
REFERENSI :


1. Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam,Bandung, PT Mizan Pustaka,2004
2. Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam, Jakarta, Rajawali Pers,2001
3. Dr.Thohir Luth, Masyarakat Madani Solusi DamaiDalam Perbedaan, Jakarta, PT Mediacita,2002
4. Dr.Iman Abdul Mukmin Sa’adudin, Meneladani Akhlak Nabi, Bandung,PT Remaja Rosdakarya,2006
5. Ensiklopedi Tematis, Akar dan Awal, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
6. KH.Abdullah Gymnastiar, Meraih bening hati dengan Manajemen Qolbu, Jakarta, Gema Insani Press,2002
7. H.Abdul Mannan, Membangun Islam Kaffah,Bekasi,Madina Pustaka,1998
8. Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, Jakarta, PT Listafariska Putra,2000
9. Dr.KH.Miftah Faridl, Islam Ukhuwah Ikhtiar membangun kesalehan sosial, Bandung,PT Remaja Rosdakarya, 2003
10. Muhammad Baqir Shadr, Manusia masa kini dan problema sosial, Bandung,Pustaka,1984




1 Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam ; Prakata
2 M.Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer ; hal.122
3 Dr.Nashir bin Abdul karim Al-‘Alq. Perpecahan Umat. Hal.65
4 HR.Al-Bukhori Kitab Al-Iman hadits no.39 (lihat Fathul Bari I/39)
8 Lihat DR.Thohir Luth,” Masyarakat Madani solusi damai dalam perbedaan, hlm.18
9 Ibid, hlm.19
[7] Ibid, Kata Pengantar
[8] Ensiklopedi Dunia Islam “ Akar dan Awal “, Pendahuluan
[9] Ibid, hlm.35
[10] Lihat Dr.Iman Abdul Mukmin, Meneladani Akhlaq Nabi, hlm.8
[11] Lihat KH.Abdullah Gymnastiar, Meraih bening hati dengan manajemen qalbu,hlm.26
[12] Lihat Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, hlm.83
[13] Lihat H Abdul Mannan, Membangun Islam Kaffah, hlm.145