Macheavelli "Tuhan Sang Politikus"
Macheavelli
(Tuhan Sang Politikus )
Oleh : A_dHie
Imanensi Politik mengisyaratkan bahwa manusia merupakan “Zoon Politicon”, praktek dan strategi yang dilakukan manusia dalam mempertahankan hidupnya merupakan manifestasi dari sebuah politik. Namun, realita hari ini grand-teori dalam politik lebih mensiratkan “How to get the power and how to use the power” yang kental dengan nuansa “menghalalkan segala cara” konsekuensi logisnya akan memunculkan suatu statement “tidak ada kawan dan lawan parennial (abadi), yang ada hanyalah kepentingan yang parennial (abadi)”. Dalam konsep “How to get the power” tidak jarang orang menggunakan cara-cara “tidak halal”. Kemudian setelah “the power” dapat diraih, selanjutnya adalah “how to use the power”, bagaimana menjaga, memelihara dan melindungi “the power”, bahkan bisa jadi akan memunculkan suatu konsep “cost and money politic” (bagaimana cara mengembalikan), kalau perlu dengan jalan abuse of power, dan ini merupakan strategi kolot yang diwangsitkan sang guru Macheavelis dalam bukunya “The Prince”.
Kontradiksi yang terjadi menjelang ataupun pasca PILKADA ini menjadi suatu sinyalement bahwa hari ini tidak sedikit sang politikus Menuhankan sang Macheavelis. Secara idealis, menurut Aristoteles, politik adalah ilmu yang berorientasi untuk mencapai kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, baik secara individu maupun kolektif. Atau dalam bahasa Syeh Siti Jenar “Hamamayu Hayuning Bawana “ (Mencapai Kemakmuran). Dan ini merupakan degradasi atas tujuan suci politik dalam beberapa dekade.
Dalam kerangka subjektivitas Penulis, Eksponen politikus Purwakarta ini masih terintervensi oleh ajaran “Macheavelis”, terbukti dengan munculnya berbagai provokasi –provokasi yang melahirkan kontradiksi interkomunitas grasroot (akar rumput), yang menjadi suatu kausal terjadinya bentrok fisik, dan ini hanya menambah beban penderitaan rakyat dan memperkeruh stabilitas masyarakat Purwakarta. Entah rakyat Purwakarta ini cerdas ataukah memang lebih suka dicerdasi??? Bukankah akan lebih bijak kalau semua kandidat dan seluruh kompenen yang terlibat dalam PILKADA ini duduk satu meja untuk menyelesaikan konflik ini secara normative dalam membahas segala probabilitas terjadinya penyimpangan dengan tanpa menjatuhkan korban-korban yang notebenenya dari kalangan grasroot. Meskipun secara empirik terjadi diversitas antar elit-elit politik dan para pendukung.
Penulis berharap konflik ini akan menemukan resolusi sebagai“Common Platform”, agar mampu mengkondisikan stabilitas masyarakat Purwakarta. Dengan melahirkan seorang Pemimpin yang Menuhankan “Allah”, bukan menuhankan Sang Macheavelis.
Wallahu A’lam Bisshawab...
(Tuhan Sang Politikus )
Oleh : A_dHie
Imanensi Politik mengisyaratkan bahwa manusia merupakan “Zoon Politicon”, praktek dan strategi yang dilakukan manusia dalam mempertahankan hidupnya merupakan manifestasi dari sebuah politik. Namun, realita hari ini grand-teori dalam politik lebih mensiratkan “How to get the power and how to use the power” yang kental dengan nuansa “menghalalkan segala cara” konsekuensi logisnya akan memunculkan suatu statement “tidak ada kawan dan lawan parennial (abadi), yang ada hanyalah kepentingan yang parennial (abadi)”. Dalam konsep “How to get the power” tidak jarang orang menggunakan cara-cara “tidak halal”. Kemudian setelah “the power” dapat diraih, selanjutnya adalah “how to use the power”, bagaimana menjaga, memelihara dan melindungi “the power”, bahkan bisa jadi akan memunculkan suatu konsep “cost and money politic” (bagaimana cara mengembalikan), kalau perlu dengan jalan abuse of power, dan ini merupakan strategi kolot yang diwangsitkan sang guru Macheavelis dalam bukunya “The Prince”.
Kontradiksi yang terjadi menjelang ataupun pasca PILKADA ini menjadi suatu sinyalement bahwa hari ini tidak sedikit sang politikus Menuhankan sang Macheavelis. Secara idealis, menurut Aristoteles, politik adalah ilmu yang berorientasi untuk mencapai kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia, baik secara individu maupun kolektif. Atau dalam bahasa Syeh Siti Jenar “Hamamayu Hayuning Bawana “ (Mencapai Kemakmuran). Dan ini merupakan degradasi atas tujuan suci politik dalam beberapa dekade.
Dalam kerangka subjektivitas Penulis, Eksponen politikus Purwakarta ini masih terintervensi oleh ajaran “Macheavelis”, terbukti dengan munculnya berbagai provokasi –provokasi yang melahirkan kontradiksi interkomunitas grasroot (akar rumput), yang menjadi suatu kausal terjadinya bentrok fisik, dan ini hanya menambah beban penderitaan rakyat dan memperkeruh stabilitas masyarakat Purwakarta. Entah rakyat Purwakarta ini cerdas ataukah memang lebih suka dicerdasi??? Bukankah akan lebih bijak kalau semua kandidat dan seluruh kompenen yang terlibat dalam PILKADA ini duduk satu meja untuk menyelesaikan konflik ini secara normative dalam membahas segala probabilitas terjadinya penyimpangan dengan tanpa menjatuhkan korban-korban yang notebenenya dari kalangan grasroot. Meskipun secara empirik terjadi diversitas antar elit-elit politik dan para pendukung.
Penulis berharap konflik ini akan menemukan resolusi sebagai“Common Platform”, agar mampu mengkondisikan stabilitas masyarakat Purwakarta. Dengan melahirkan seorang Pemimpin yang Menuhankan “Allah”, bukan menuhankan Sang Macheavelis.
Wallahu A’lam Bisshawab...
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home