Akal Menurut Filusuf Islam
Oleh : A_dHie CreatiVe,,,
Para filosof Islam membagi akal menjadi dua, yaitu akal teoritis dan akal praktis.
a. Akal Teoritis (Akal Fikr)
AlFarabi mendefinisikan akal teoritis dengan mengatakan bahwa akal yang dengannya manusia mencapai hakikat-hakikat ilmiah yang tidak terkait dengan perbuatan manusia dan ruang lingkupnya hanya berada dalam mekanisme ilmiah serta tidak berhubungan dengan masalah baik-buruk, contohnya kemustahilan berkumpulnya dua hal yang kontradiktif dan beragam persoalan matematika.
Para filosof Peripatetik (Masyain) menyepakati empat tingkatan akal, sebagai berikut:
1. Akal Primer (primary material intellect), yang hanya merupakan tingkatan potensi belaka dan sama sekali belum bisa menangkap realitas universal;
2. Akal potensial (potential intellect), pada tingkatan ini, akal dan pikiran manusia bisa memahami masalah-masalah universal yang gamblang dan aksioma, seperti pengenalan masalah-masalah yang bisa dipahami dengan penyaksian misalnya (universal lebih besar dari partikular) dan (sesuatu yang ada lebih baik dari yang tiada) dan aksioma-aksioma sejenis ini;
3. Akal aktual (actualized intellect), dalam tingkatan ini, masalah-masalah ilmiah yang mendetail dicapai dari hal-hal yang aksioma untuk kemudian melahirkan bentuk argumentasi, sebagaimana ketika kita mengatakan, Zaid adalah manusia dan setiap manusia memiliki kemampuan untuk memahami. Jadi, Zaid memiliki kemampuan untuk memahami;
4. Akal capaian (acquired intellect), manusia yang mencapai tingkatan ini bisa jadi dalam seratus tahun hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada tingkatan ini, manusia telah menjadi “malaikat” non-materi, tak satupun realitas yang tidak jelas baginya, dia mengetahui semuanya, dan tak sesuatupun yang bisa memalingkan perhatiannya dari mengingat-Nya, dan ia sebagai manifestasi nama Ilahi “Ya man lâ yasyghuluhu sya’i ‘an sya’i”.
b. Akal Praktis (Akal Qalbi)
AlFarabi dalam definisi tentang akal ini mengatakan, “Akal praktis adalah akal yang dengannya seseorang mampu mengetahui tentang hal-hal yang terpuji dan tercela, hal-hal yang harus dilakukan dan yang dijauhi, dan mampu menentukan rangkaian dan sistimatika segala perbuatannya.
Para filosof menyepakati adanya tingkatan akal praktis, sebagai berikut:
1. Pensucian (takhliyah) adalah mensucikan batin dari segala perbuatan dan akhlak yang tak terpuji, seperti riba, bakhil, hasad, dan akhlak-akhlak tercela lainnya serta mengikuti hawa nafsu yang membawa manusia mendekati sifat-sifat binatang.
2. Penghiasan (tahliyah) adalah batin seseorang yang telah suci dari akhlak-akhlak tercela, kemudian ia menghiasi batinnya dengan akhlak-akhlak yang mulia, semacam keadilan, ibadah, sabar, tawadhu’, dan lain-lain;
3. Fana, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Fana dalam perbuatan, bermakna bahwa seluruh gerak, diam, dan perbuatannya terwarnai oleh perbuatan Ilahi. Seluruh perbuatan merupakan manifestasi kodrat dan perbuatan Tuhan, hal ini identik dengan makna “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”
b. Fana dalam sifat, bermakna bahwa seluruh sifat terpancar dari sifat Tuhan, dan segala yang indah, cantik, mulia, dan berilmu merupakan manifestasi dari kesempurnaan Tuhan. Dalam makna “Alhamdulillah” (Segala Puji bagi Allah) dikatakan bahwa segala rasa syukur dan pujian hanya milik dan untuk Tuhan.
c. Fana dalam Tuhan, bermakna bahwa seluruh alam merupakan murni hubungan dan korelasi dari Tuhan, maka dari itu tak ada wujud yang bersifat mandiri selain-Nya. Tingkatan ini identik dengan makna, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”
Para filosof Islam membagi akal menjadi dua, yaitu akal teoritis dan akal praktis.
a. Akal Teoritis (Akal Fikr)
AlFarabi mendefinisikan akal teoritis dengan mengatakan bahwa akal yang dengannya manusia mencapai hakikat-hakikat ilmiah yang tidak terkait dengan perbuatan manusia dan ruang lingkupnya hanya berada dalam mekanisme ilmiah serta tidak berhubungan dengan masalah baik-buruk, contohnya kemustahilan berkumpulnya dua hal yang kontradiktif dan beragam persoalan matematika.
Para filosof Peripatetik (Masyain) menyepakati empat tingkatan akal, sebagai berikut:
1. Akal Primer (primary material intellect), yang hanya merupakan tingkatan potensi belaka dan sama sekali belum bisa menangkap realitas universal;
2. Akal potensial (potential intellect), pada tingkatan ini, akal dan pikiran manusia bisa memahami masalah-masalah universal yang gamblang dan aksioma, seperti pengenalan masalah-masalah yang bisa dipahami dengan penyaksian misalnya (universal lebih besar dari partikular) dan (sesuatu yang ada lebih baik dari yang tiada) dan aksioma-aksioma sejenis ini;
3. Akal aktual (actualized intellect), dalam tingkatan ini, masalah-masalah ilmiah yang mendetail dicapai dari hal-hal yang aksioma untuk kemudian melahirkan bentuk argumentasi, sebagaimana ketika kita mengatakan, Zaid adalah manusia dan setiap manusia memiliki kemampuan untuk memahami. Jadi, Zaid memiliki kemampuan untuk memahami;
4. Akal capaian (acquired intellect), manusia yang mencapai tingkatan ini bisa jadi dalam seratus tahun hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada tingkatan ini, manusia telah menjadi “malaikat” non-materi, tak satupun realitas yang tidak jelas baginya, dia mengetahui semuanya, dan tak sesuatupun yang bisa memalingkan perhatiannya dari mengingat-Nya, dan ia sebagai manifestasi nama Ilahi “Ya man lâ yasyghuluhu sya’i ‘an sya’i”.
b. Akal Praktis (Akal Qalbi)
AlFarabi dalam definisi tentang akal ini mengatakan, “Akal praktis adalah akal yang dengannya seseorang mampu mengetahui tentang hal-hal yang terpuji dan tercela, hal-hal yang harus dilakukan dan yang dijauhi, dan mampu menentukan rangkaian dan sistimatika segala perbuatannya.
Para filosof menyepakati adanya tingkatan akal praktis, sebagai berikut:
1. Pensucian (takhliyah) adalah mensucikan batin dari segala perbuatan dan akhlak yang tak terpuji, seperti riba, bakhil, hasad, dan akhlak-akhlak tercela lainnya serta mengikuti hawa nafsu yang membawa manusia mendekati sifat-sifat binatang.
2. Penghiasan (tahliyah) adalah batin seseorang yang telah suci dari akhlak-akhlak tercela, kemudian ia menghiasi batinnya dengan akhlak-akhlak yang mulia, semacam keadilan, ibadah, sabar, tawadhu’, dan lain-lain;
3. Fana, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Fana dalam perbuatan, bermakna bahwa seluruh gerak, diam, dan perbuatannya terwarnai oleh perbuatan Ilahi. Seluruh perbuatan merupakan manifestasi kodrat dan perbuatan Tuhan, hal ini identik dengan makna “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”
b. Fana dalam sifat, bermakna bahwa seluruh sifat terpancar dari sifat Tuhan, dan segala yang indah, cantik, mulia, dan berilmu merupakan manifestasi dari kesempurnaan Tuhan. Dalam makna “Alhamdulillah” (Segala Puji bagi Allah) dikatakan bahwa segala rasa syukur dan pujian hanya milik dan untuk Tuhan.
c. Fana dalam Tuhan, bermakna bahwa seluruh alam merupakan murni hubungan dan korelasi dari Tuhan, maka dari itu tak ada wujud yang bersifat mandiri selain-Nya. Tingkatan ini identik dengan makna, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home